Dalam bukunya berjudul The Geography of Bliss, Eric Weiner menaruh kata-kata Paul Thereoux sebagai pembuka. “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku”, kalimat yang mendorong saya untuk membaca halaman selanjutnya dan sejujurnya belum selesai sampai sekarang. Perjalanan saya ke Inggris Selatan bukanlah sebuah ide baru, lebih merupakan pengaruh dari perjalanan teman saya dan ketika melihat fotonya, saya tidak mengucapkan banyak kata, hanya membulatkan tekad bahwa suatu hari saya akan melihatnya dengan mata saya sendiri. Dan perjalanan ini ternyata didukung oleh seluruh semesta.
Cuaca di London sedang cerah berawan seperti biasanya. Pukul setengah 7 pagi bus kami dari Liverpool tiba di Victoria Coach Station. Segera kami menuju penitipan tas karena pukul 8 kami harus naik bus ke Brighton. Penitipan di Victoria lumayan mahal, harganya £12.50 per tas untuk satu hari dan sepertinya yang paling mahal di Inggris.
Selagi menunggu antrian, kami bertemu dengan seorang pejalan solo asal Argentina. Entah siapa namanya, tapi dia sedang sarapan muesli instan lahap sekali. Kami berbincang sedikit, tapi karena cara bicaranya membingungkan, jadi saya lebih sering tersenyum saja. Mas Gepeng melihat di tas carrier biru bule Argentina ini ada banyak muesli yang sudah dia bagi-bagi per sekali makan. Katanya memang orang sana suka sekali makan muesli.
Sebenarnya itu ide bagus buat pejalan murah meriah seperti kami ini, tapi sayang sekali saya tidak bisa menikmati muesli dan melihat bule Argentina makan saja saya sudah merasa kenyang. Bus menuju Brighton berangkat dan sampai tepat waktu. Kami berjalan menuju Brighton Pier, sebuah dermaga yang lumayan terkenal dan sering jadi lokasi perhelatan event atau festival lokal. Saat itu pun ada kegiatan shooting Pride of Britain.
Menghindari kerumunan, saya dan Mas Gepeng berjalan menuju halte bus terdekat karena tujuan utama perjalanan ini bukan lagi untuk menikmati fish and chips di pinggir pantai atau jelajah kota Brighton, melainkan ingin bertegur sapa dengan hamparan hijau super luas dan pantai tenang nan lembut dipinggir tebing putih. Semua itu secara lengkap menjadi satu di tempat bernama Seven Sisters Country Park.
Saya celingak celinguk mencari loket penjual tiket, tapi nihil. Mulai kebingungan, saya beranikan diri bertanya pada sepasang bapak-ibu dimana bisa mendapatkan tiket menuju Seven Sisters. Kebetulan pasangan itu adalah pendatang juga dan menjelaskan mereka membeli tiket di petugas bus hop-on-hop-off yang sedang ngetem dipinggir jalan dermaga.
Beruntungnya, petugas tiket sangat amat ramah sehingga bisa memaklumi pertanyaan kami yang serba insecure. Dia menjelaskan bahwa tempat yang kami tuju benar-benar indah dan cuaca sedang bagus. Kabar baiknya lagi adalah tiket perjalanan kami hari itu tipe Family NetworkSaver, dimana kami bayar sekali saja untuk perjalanan bebas naik turun bolak balik antara Brighton – Eastbourne selama satu hari penuh! Woo hoo!
Menuju Seven Sisters dengan Bus No. 12
Ada beberapa bus menuju Seven Sisters, tapi ada satu yang paling spesial yaitu bus nomor 13. Kenapa spesial? Karena hanya bus ini yang punya rute melewati beachy head, titik paling pas untuk melihat mercusuar dari tebing kapur. Sayangnya bus ini lumayan langka, jadi kami menumpangi nomor 12 menuju Seaford karena tidak ingin membuang waktu menunggu.
Sesuai nasihat teman saya, setelah menunjukkan tiket terusan ke supir, saya langsung bergegas ke lantai dua. Pasalnya dengan berada di lantai dua bus, saya akan melihat pemandangan jauh lebih jelas karena kacanya besar. Dasar belum beruntung, saya hanya mendapat tempat di kursi urutan kedua dari depan duduk dengan seorang pria Inggris tua yang ramah. Tapi untungnya saya tetap berkesempatan menikmati perjalanan dari Brighton menuju Saltdean, Peacehaven, Denton Corner, sampai Seaford, dan pemandangannya luar biasa indah lho!
Jalanan sesekali menurun sesekali menanjak, pemandangan laut tenang berwarna biru muda di sisi timur meminta untuk dikagumi. Tata kota yang rapih dengan bangunan khas Inggris, paduan warna dinding putih, ornamen kayu, bata-bata tua, lingkungan bersih, sempurna sekali rasanya jika bisa tinggal disni. Belum sampai tujuan, saya sudah hampir menangis kegirangan.
Nah di bus ini ada juga sih yang bikin kesal. Di depan saya duduk orang Inggris yang berbincang macam-macam, satu anak muda satunya lagi sudah nenek, mereka keluarga. Yang bikin kesal adalah seberangnya yaitu dua turis Korea muda duduk diam-diaman. Saya mengamati mereka bertanya-tanya, “Mereka lihat pemandangan gak sih? Kok diam-diam aja. Apakah bosan? Diajak tukar tempat duduk mau gak ya?” gumam saya menebak-nebak.
Niat saya urungkan karena dari kursi ini pun saya masih bisa menikmati barang setengah frame. Bersyukur lah ya. Yang bikin akhirnya saya kesal adalah dua turis Korea itu ternyata ketiduran! 😑
Di tengah perjalanan, nenek yang duduk di depan saya memanggil si turis Korea. “Hey, you’re a tourist right?”, tanyanya sambil menunjuk-nunjuk. Turis Korea itu mengangguk. Lalu si nenek berkata dia akan menunjukkan sebuah titik batas antara barat dan timur (saya kira si nenek mau bilang “woy pemandangan bagus jangan tidur woy!” ternyata saya keliru).
Titik itu ditandai dengan sebuah tugu dengan bola diatasnya. Saya yang ikut antusias pun mengangguk paham dan nenek pun tersenyum. Nenek menginstruksi ketika dia berteriak ‘there!’ maka kami harus menengok ke kanan dengan cepat. Saya pun pemanasan leher, takut kalau-kalau kaget lalu keseleo. Saat bus semakin dekat dengan tugu itu, kami sudah siap-siap menoleh ke kanan dan ta-daaaa, itu dia tugunya! Terlihat jelas meski sepintas! Itu dia titik yang bukan barat atau pun timur. Terima kasih, Nek.
Nenek lain yang baik hatinya adalah yang kami temui di bus kedua saat bus pertama tau-tau harus ‘istirahat’ dan mengoper kami ke bus lain. Kami bertemu dengan seorang nenek yang hendak pergi menonton kompetisi Wimbledon 2017 sendirian. Beliau memberi tau bahwa jika ingin melihat pemandangan Seven Sisters yang paling bagus adalah kami turun di Cuckmere Inn (sebenarnya nenek menyarankan ke beachy head, hanya saja ia tau kami tidak beruntung hari itu).
Ketika bus sudah mendekati lokasi yang dimaksud, nenek menekan tombol berhenti untuk kami. Saya pun berdiri, berterima kasih, lalu pamit, “have a good day, ma’am!”.
Selamat Datang di Seven Sisters!
Ini dia, Cuckmere Inn. Pintu masuk menuju jalan panjang menyusuri padang rumput dan bukit-bukit luas berada di depan penginapan cantik ini. “Selamat datang di Seven Sisters”, sambut saya seolah menjadi tour guide. Seven Sisters adalah sebuah kawasan hijau di sisi selatan Inggris yang berbatasan langsung dengan laut.
Nama ‘Seven Sisters’ sendiri terinspirasi tujuh puncak teping kapur yang terbentuk dari hasil benturan antara sungai dan lembah. Puncak tertinggi bernama Haven Brow, mungkin dia adalah kakak tertua. Saudara lainnya bernama Short Brow, Rough Brow, Brass Point, Flagstaff Point, Baily’s Brow, dan Went Hill Brow.
Kami pun berjalan menuju laut, tujuan paling mudah karena sebenarnya saya juga bingung berada disisi Seven Sisters bagian mana. Dataran ini tuh luas banget! Kami susuri padang rumput mengikuti jalur yang sudah tersedia.
Setelah beberapa lama, bertemulah kami dengan Sungai Cuckmere, pertanda kami sudah di jalur yang benar. Sungai Cuckmere dangkal, tenang, tapi hati-hati kalau mau berpijak disisi sungai, tanah lembeknya bisa membuat kakimu terjebak. Mungkin saja sepatumu bisa ketinggalan disana. “Mberrkkk”, tau tau Mas Gepeng bertegur sapa dengan domba-domba yang ada di sisi kanan kami. “Emmbeeerrkkk”, lalu terdengar sahutan dari jauh. Lho! Astaga! Suami saya bisa bahasa domba! Bahkan domba British! Beberapa kali mereka sahut-sahutan seolah saling tanya kabar dan saya hanya bisa tertawa. Saya kira bakat suami saya hanyalah cuci piring tanpa pamrih, ternyata ada yang lain.
Selain domba (dan jumlahnya banyak sekali, bukitnya jadi seperti berketombe), kami juga bertemu sapi-sapi. Berbeda dengan hairy cow di Skotlandia, sapi disini berambut pendek dan bertubuh kekar besar. Mereka merumput dengan khidmat, dipanggil tak ada menyahut satu pun. Dasar sapi. Kami pun terus menyusuri sungai sampai akhirnya sedikit menjauhi namun mulai terlihat dari jauh tebing kapur beraroma segar. “Wah udah mau sampai!”, saya berkata riang sambil mempercepat langkah. Ini dia! Laut di Seven Sisters!
Wajah saya seketika merona, memandangi laut berwarna putih kebiruan yang tenang tanpa bau amis ataupun lengket udara asin. Laut! Aaahh! Saya dan Mas Gepeng pun berjalan melewati kerikil-kerikil kecil menuju lebih dekat. Berbeda dengan pantai pada umunya, disini pantai tidak berpasir melainkan batu-batu kecil berwarna putih bertekstur doff. Agak sedikit sulit jalannya, tapi seru sekali. Kadang kaki terpeleset, terjelungup, terseok, seru banget! Karena pemandangan ini sangat cantik dan kaki kami lelah, jadi kami duduk dan makan bekal berupa kentang yang ditabur BonCabe.
Kembali menelusuri pantai, bertemulah saya dengan ujung muara Sungai Cuckmere. Banyak orang bermain disitu. Jika menyeberangi sungai, kita akan bertemu dengan tebing kapur yang tinggi sekali. Seharusnya saya bisa kesana, tapi membuka boots dan kaus kaki tebal yang panjangnya sebetis terasa merepotkan. Jadi kami kembali saja menyusuri sungai untuk pulang.
Niat yang diurungkan dengan alasan konyol itu menghantui saya sepanjang jalan balik ke Cuckmere Inn. Rasanya ingin sekali kesana, ingin melihat tebing kapur entah dari bawah atau dari atas, lalu melihat pantainya, lalu menikmati anginnya. Sampai setengah perjalanan balik, saya merengek ke Mas Gepeng untuk kita menyeberang ke sisi satunya agar bisa naik ke tebing. Matanya menyeripit dan mulutnya manyun, persis seperti wajah Squidward Tentacles. Meskipun begitu, permintaan saya dikabulkan. Yay! Saya tau dia suami yang sayang istri, minta hal paling nyebelin pun dilakoninya. Kami menyeberang lewat sisi sungai yang dangkal lalu jalan kembali kali ini ke arah tebing.
Perjalanan masih berhias hamparan hijau kekuningan, langit kelabu mendung-mendung tak pasti, dan angin dingin yang gagal tembus jaket hangat kami. Sesampainya di titik mendaki, Mas Gepeng lebih memilih untuk merebahkan tubuh di hamparan rumput dan mempersilahkan saya lanjut menuju puncak tebing. “Nanti sepatuku rusak”, katanya. Memang jalan-jalan pakai boots yang bagus jauh lebih nyaman ketimbang sepatu casual bermerek. Saya pun lanjut mendaki.
Mendaki Tebing Kapur
Mendaki bukan keahlian saya. Hal-hal yang melawan gravitasi seperti mendaki, manjat, lompat-lompat, itu sungguh bukan keahlian saya. Biasanya saya menyalahkan ukuran betis dan paha yang sudah seperti gulingan daging kebab ini, karena teman-teman pendaki dan pemanjat saya kebanyakan berkaki ramping. Tapi kali ini saya percayakan mimpi saya pada kedua pasang pekerja keras yang sudah dimodali dengan boots nyaman dan jins ringan ini. Saya menggantungkan harapan untuk sekedar memenuhi hasrat melihat apa yang sudah saya impikan. Dan tau kah kamu, mendaki, entah di gunung atau di bukit, somehow menjadi momen yang tepat untuk meditasi
Saya pun menikmati langkah demi langkah. Menoleh kesana kemari untuk merekam semua pesona cantik yang Inggris Selatan bisa suguhkan. Lalu saya berhenti sebentar, memandang langit, mengelus dengkul yang semakin ngilu tak karuan. Kemudian saya lanjut mendaki.
Dibelakang saya melihat dua orang wanita membawa carrier dan mendaki menggunakan tongkat. Sepertinya mereka sedang latihan mountaineering, karena ada seorang pria paruh baya memanggil dan mendorong mereka untuk terus berjalan. Saya memotret, lalu berbalik lanjut mendaki. Dengkul semakin ngilu, rasanya akan copot jika saya teruskan berjalan. Tak apa, sekali seumur hidup. Setelah ini tidur panjang pakai Counterpain.
Semakin dekat ke puncak, saya semakin menunduk. Seolah ancang-ancang bersiap takjub, tapi menenangkan diri agar tak lompat kesana kemari. Lalu saat saya meluruskan pandang, laut tenang luas membentang menyatu dengan langit. Laut tak berbatas, berwarna biru muda. Ada sisi yang berwarna toska, mungkin para anemon hidup berdampingan disana. Ini bagus sekali. Diatas rata-rata!
Tempat saya dan Mas Gepeng duduk makan kentang ada di ujung sana. Jauh, sekitar seratus juta jengkal, mungkin lebih. Dataran hijau ternyata ada yang kotak, ada juga yang miring-miring. Ada beberapa genangan air membentuk danau. Sapi-sapi yang tadi terlihat garang tampak menyatu dengan tanah. Dan di kiri saya ada tebing kapur berbaris. Berwarna putih terang dengan corak-corak gelap. Saya tak bisa perkirakan jaraknya dengan dasar tebing, yang pasti berada beberapa langkah saja di ujung sudah gemetar. Ya ampun, saya tidak bisa berkata apa apa lagi. Ini bagus bangeeeet. Saya berjalan berkeliling, beberapa kali mengambil nafas panjang saking terkesimanya. Puluhan foto saya ambil meski dari sudut yang sama dan tidak ada satu pun yang sama indahnya dengan apa yang saya lihat.
Karena Mas Gepeng menunggu dibawah dan saya juga harus bergegas setelah korupsi beberapa puluh menit dari itinerary, saya duduk sebentar, lalu turun. Dari jauh saya melihat Mas Gepeng berjalan menyusul. Mencoba berlari tapi dengkul sudah mencapai batasnya. Saya berjalan secepat yang saya bisa. Sampai dia semakin dekat, saya semakin ingin berjalan lebih cepat lagi. Saya lalu bisa berlari sedikit dan memeluknya. “Bagus bangeeeet huwaaaa…. Hu huuu… Hwaaaaannnggg….”, saya bicara sambil menangis tersedu-sedu. Menangis bahagia tanpa cela. Terus begitu. Sesekali peper ingus, tapi tetap bahagia.
13 Comments. Leave new
Seven Sisters bagus yaa kayanya. Aku baru aja ke Brighton, dan ga suka pantainya yg seperti tourist trap. Tau gitu mendingan langsung ke SEven Sisters aja, ga usah ke Brighton 😀
Buat aku bagus banget Mba Dixie. Tau sebagus itu aku mending inep inep disana sekalian ahahaha. Aku suka pemandangan pantai yg pinggirnya hijau tebing-tebing gitu. Kalo Mba kesana nanti ditulis ya, dan semoga pas cerah-cerahnya
Masyaallah, cantik sekali ya panoramanya 🙂
Aaaaa…aku mau juga ke Inggris mbakkkkkkkk…..may may may. Pemandangannya bagus, Indonesia it cantik tapi aku tetap mau ke sana, doain yah 🙂
Banyak pemandangan cantik di Inggris ya…Moga-moga sempat visit kesana.
Fotonya bagus-bagus mba. Thanks for sharing
hiks ingin kesana 🙁 suka sama prolog nya kak hehehe , keep writing!
Iya setuju, Indonesia itu cantik banget! Dari gunung, laut, budaya, semua cantik. Semoga bisa segera main ke Inggris yah, amin amin
Cantik banget Mba Farida, sampe sampe aku mewek saking merasa ini indah buanget!
Banyak banget Mba Fiberti. Rasanya mau balik kesana lagi, mau keliling lagi lebih lama. Amin amin ayo mba kesana 😀 Terima kasih Mba, semoga postingannya menginspirasi yah
Hai Mba Wawa. Terima kasih apresiasinya yah. Yuk main ke Inggris 🙂
wow pemandangan yang benar-benar sangat indah..
Iya indah ya