Siang tadi saya, Mas Gepeng, dan Ibu (mertua) berkendara dari Jogja menuju Desa Klambu di Purwodadi dalam rangka kedukaan. Ama dan Adi, sepasang sepupu kami kehilangan anak pertama mereka kemarin malam. Setelah sepuluh hari berjuang di ICU, akhirnya gadis berusia sepuluh itu pergi untuk selamanya.
Selama perjalanan dengan mobil sewaan, saya terus berpikir apa yang akan saya sampaikan kepada Ama dan Adi ketika ketemu nanti. Menghadapi kedukaan adalah salah satu kondisi yang selalu membingungkan untuk saya. Dan kehilangan anak saat usianya masih sangat muda, rasanya kalimat langit apapun gak akan bisa mewakili kedukaan ini.
Setelah berkendara hampir enam jam, kami tiba di desa kelahiran Bapak saya itu. Banyak yang berubah, tapi pasar tempat favorit saya main masih tetap gagah berdiri dan sudah jauh lebih rapih.
Dari segala ide ucapan yang datang selama di perjalanan, akhirnya saya malah gak berkata apa-apa. Saya memeluk Ama. Mencium pipinya. Mengelus punggungnya.
Saya melihat kantung mata Ama besar, tubuhnya lelah, dan suaranya memberat ketika dia kembali menceritakan situasi waktu di ICU. Ama lalu bertanya tentang rencana perjalanan saya dan Mas Gepeng berikutnya, dia terkesima dan tertawa sedikit. Sebenarnya saya gak mau ada cerita soal saya di sini, saya hanya ingin mendengarkan apa yang ingin dia ceritakan entah itu soal anaknya atau masakan di meja malam ini. Tapi kalau itu yang (mungkin) bikin Ama lebih baik, saya bisa apa.
Setelah acara tahlilan, kami izin pamit kembali ke Jogja. Rasanya ingin nginap di sana barang semalam, mengenang masa-masa kecil dulu tidur di kamar belakang bersama nyamuk raksasa dan bunyi tokek. Apa daya, besok harus terbang kembali ke Jakarta dan masih ada banyak urusan di Jogja.
Tahu-tahu Mama telepon ngabarin dia dan Bapak barusan sampai juga ke Klambu. Akhirnya kami samperin dulu sekalian Mama Bapak silaturahmi ketemu Ibu setelah sekian lama.
Melihat Mama dan Bapak nyetir berdua dari Bekasi ke Klambu sini terus masih ketawa-ketawa, rasanya saya ingin menangis. Dari dulu sampai sekarang perasaan saya selalu sama, saya paling takut berpisah sama mereka. Entah saya meninggal duluan atau mereka, keduanya sama-sama bikin saya gak bisa memeluk mereka lagi. Keduanya sama-sama bikin saya gak bisa ketawa bareng mereka lagi. Makanya setiap ngeliat mereka sehat dan bahagia gini, saya terharu dan bersyukur setengah mati. Duh jadi mewek.
Perjalanan kembali ke Jogja terasa lebih hangat meski udara mulai berangin sejuk. Saat memandangi keluar jendela, pikiran saya entah kenapa kosong. Saya gak tahu mau mikir apa. Biasanya overthinking, ini kosong melompong. Mungkin kayak gini kali ya kalau merasa cukup.
Ah, sudah waktunya gantian nyetir. See you then!