Pukul delapan pagi hari kedua bulan Syawal di Jogja, saya dan Mas Gepeng keluar Stasiun Tugu dan mendapati terik yang teramat sangat. Sejak kapan Jogja jadi sepanas ini? Bekasi masih lebih adem. Sehari sebelumnya saya masih terbangun di kota kelahiran saya itu, mandi dengan air dingin, solat Ied bersama Mama dan kakak perempuan yang sedang hamil anak kedua, lalu bermalas-malasan di ruang tv. Hari berikutnya saya sudah di kota kelahiran Mas Gepeng. Tentu saja untuk bermalas-malasan juga.
Sejak tiba di rumah Ibu (mertua) di Bantul hingga adzan ashar berkumandang, gak ada angin yang menggerakan awan di langit biru. Tidur siang saya gak nyenyak. Saya mengangkat baju berharap badan dapat sejuk dikit, tapi percuma. Mau nyalain AC juga gak tega. Akhirnya saya bangun, ganti daster, lalu kipasan duduk di halaman sambil re-watch My Liberation Notes dari episode 5 karena saya sesuka itu dengan kisah Mi-jeong dan Pak Gu haha.
Oh iya tadi pagi saya sarapan opor buatan Ibu. Saya ambil kuahnya dan bikin telur ceplok buat lauk. Opor Ibu beda banget sama opornya Mama. Ibu pakai jeruk nipis dan santannya sedikit, bikin kuahnya lebih ringan dan aromanya seperti kue yang sedang dipanggang. Baru ini saya makan opor seperti itu. Enak juga. Kemarin saya bikin mi instan pakai kuah opor Mama. Entah kenapa hari ini jadi ingin makan mi kuah juga. Tapi kuah opor Ibu sudah habis, jadi gak bisa bikin mi instan kuah opor.
Akhirnya sore jam lima kami cus makan Bakmi Jawa Pak Rebo. Sudah jadi tradisi tiap kami ke Jogja pasti makan ke sini. Cita rasanya khas, gak ada yang bisa nyamain. Setelah mi datang, kami makan seperti orang gila. Gak ada jeda panjang antara satu suapan dengan suapan berikutnya. Kami sungguhan lapar. Yang saya heran, ini bakmi masih saja hanya nerima pembayaran tunai. Boro-boro QRIS, transfer saja gak mau. Padahal kipas angin yang mereka pakai sudah model terbaru lho.
Setelah makan, kami lanjut berkeliling. Saya ditunjukin rumah preman paling seram se-Jogja, ditunjukin SMP-nya Mas Gepeng, ditunjukin benteng yang baru dibangun, dan sebagainya. Saya kira Jogja akan ramai, ternyata gak juga. Jalanan lengang, adem, orang-orang berkendara dengan tenang dan tertib. Kami lalu mampir ke rumah Romo Bin, pakdenya Mas Gepeng. Ah saya suka sekali rumah keluarga Romo Bin dan Bu Nur. Arsitektur khas rumah lawas Jogja dengan halaman luas, banyak spot-spot hijau, juga ruang terbuka akan selalu bisa meluluhkan hati saya. Badan yang tadinya gerah gak karuan (plus karena saya pakai jaket windproof), mulai dingin karena kena angin malam yang muter-muter di tengah rumah.
Saat kami pamit pulang, eh ternyata masih jam setengah delapan. Memang waktu berjalan lebih lambat di Jogja. Harusnya di sini gak berlaku WIB (Waktu Indonesia Barat) tapi WIB (Waktu Istimewa Bagian Jogja) hahaha maksa ya. Karena masih jam segitu, kami keluar lagi ke Alfamart buat beli sabun cuci muka, odol, dan nyetok kebutuhan harian Ibu. Balik ke rumah masih saja belum masuk jam tidur. Bingung mau ngapain lagi, akhirnya kami mandi, beberes tas, dan saya nulis diari ini.
Hari pertama di Jogja setelah sekian lama, ternyata masih dengan rasa yang sama. Jogja masih rasa Jogja. Masih berjalan lambat, benar-benar lambat.
2 Comments. Leave new
Uwaaaah! Aku penasaran sama opornya Ibu 😂. Nggak kebayang aroma opor kayak aroma kue yang lagi dipanggang 🙈 otak sama lidahku kayak nggak sinkron gitu ngebayanginnya wkwk.
Kak, itu mienya kok kelihatan kayak spaghetti 🤣. Aku sampai pikir salah lihat, tapi setelah diperhatiin baik-baik, beneran deh mirip spaghetti 🤣.
Nah itu dia khasnya Bakmi Jawa Pak Rebo, mi-nya iya mirip spaghetti dengan kearifan lokal hahaha. Sudah gitu masaknya pas gak kelembekan, enak sruputnya panjaaang~