“Kerusuhan di Indonesia itu ternyata bukan hanya pas tahun 1998, tapi ada juga dulu di sini (baca: Glodok)”, kata Suci, teman Linkers saya yang hari itu jadi guru sejarah berjalan acara #jalanbareng #ErrinaxSuci mengajak kami berenam belas mengenal lebih dekat tentang Jakarta khususnya etnis Tionghoa. Pernyataan itu muncul setelah ia menerangkan bahwa ada pembantaian etnis Tionghoa dulu di pertengahan abad 17 karena permasalahan ekonomi yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pendatang. Pernyataan itu membuat saya bergidik, meski di satu sisi saya penasaran karena saat ini, orang Tionghoa memiliki ‘posisi khusus’ di gunjingan para masyarakat lokal yang merasa lahan rezekinya diambil.
Saya tidak hendak membahas kebencian terhadap etnis Tionghoa, toh saya sendiri tidak punya masalah, hanya iri saja (dengan kulit mulusnya wkwk). Lagipula saya punya suami yang memiliki (secuil) darah Tionghoa, jadi rasanya saya lebih ingin mengenal etnis yang masuk ke Indonesia jauh lebih dulu ketimbang Belanda ini. Kali ini saya berkesempatan mengenal etnis Tionghoa sedikit lebih dekat dengan kunjungan perdana ke Glodok, tepatnya ke kawasan Petak Sembilan, jantung budaya pecinan di sisi barat ibu kota Jakarta.
Asal Nama Glodok, Pancoran, dan Patekoan
“Siapa yang tahu asal nama Glodok?”, tanya Suci seperti ibu guru kepada anak muridnya yang tampak lupa membaca buku. Beruntung saya sempat baca Wikipedia pas perjalanan naik busway, sehingga saya bisa bilang salah satu alasan nama Glodok yaitu dari bahasa Sunda Golodok, yang artinya pintu masuk. Saya jadi tampak pintar wkwk.
Referensi lain menyebutkan Glodok juga berasal dari plesetan istilah grojok (lu tahu kan olang Cina suka cadel cadel gitu), yaitu bunyi air mengalir dari pancuran besar yang biasa jadi tempat minum kuda pengangkut barang. Bunyi air terdengar grojok grojok mungkin karena kerannya murahan, karena kalau kerannya bagus, bunyinya jadi syuurr syuuurr. Dan seperti yang kalian bisa tebak, nama Pancoran pun juga berasal dari pancuran besar itu. Kenapa U berubah jadi O? Karena pancoran terdengar lebih slang ketimbang pancuran. Yakeles.
Tepat di seberang Pasar Jaya Glodok ada bangunan situs warisan budaya dunia UNESCO bernama Pantjoran Tea House. “Bangunan ini termasuk situs yang bentuk aslinya tidak boleh dirubah”, terang Suci. Meski begitu, bagian dalam bangunan boleh difungsikan macam-macam. Awal mula bangunan ini adalah apotek bernama Chung Hwa. Bentuk bangunannya memang klasik sekali. Terdiri dari dua lantai, memiliki banyak jendela panjang, atapnya genting bertingkat, dan bentuknya mengikuti tikungan jalan.
Per tahun 2015, baru deh bangunan dialihfungsikan menjadi kedai teh sampai sekarang. Makanan yang disajikan khas makanan Tionghoa seperti aneka dimsum, bubur, mie ayam, ayam sayur asin ang cho, sapi sichuan, udang telur mentega, gurame asam manis, angsio seafood tahu, dan sebagainya. Semua menu tampak lezat, meski saya tidak mencoba karena mahal sudah sarapan. Asyiknya, di depan toko disajikan delapan teko teh klasik untuk diminum gratis oleh siapapun. Yang gratis-gratis begini suka aqutu~
Tradisi menyediakan teko ini namanya patekoan, berasal dari kata ‘pa’ yang dalam bahasa Tiongkok artinya delapan dan kata ‘te-koan’ yang artinya teko teh. Thanks to om dan tante Gan Djie yang memulai tradisi ini, sehingga siapa saja bisa minum teh tubruk gratis di tengah panas terik Jakarta. Meski tidak ada es batunya, kan lumayan daripada lumanyun.
Gang Gloria dan Babi Babi Everywhere~
Salah satu surga kuliner di Glodok ada di Gang Gloria —apalagi bagi kamu yang sukanya makan makanan tidak halal wkwk. Gang yang lebarnya tidak sampai 5 meter ini sudah ramai sejak pagi entah para pedagang yang mondar-mandir, juga para pengunjung yang hendak belanja atau cari kudapan lezat. Saya memang tidak mencium aroma menggugah selera karena sudah kena gejala pilek, tapi kebul asap dan bunyi ciuman antara sendok dan mangkuk sudah cukup membuat saya penasaran. Sayangnya, rasa penasaran itu saya kubur bersama Suzzanna karena yang menggugah ternyata bakso babi, somay babi, dan mie ayam babi wkwk.
Lalu makan apa dong kita para akhi dan ukhti? Tenang, ada penjaja makanan halal juga kok seperti nasi rames (ada sambal petenya bok!), cakue, soto betawi, gorengan, mie ayam halal, dan kalau agak maju lagi akan ketemu semacam foodcourt yang makanan legendaris seperti Gado-Gado Direksi, Kari Lam, dan Mie Kangkung Jangkung. Di Gang Gloria juga ada kedai kopi langganan para koko cici (dan para pencari konten Instagram) bernama Kopi Es Tak Kie.
Saya mencicipi beberapa kudapan dan suka sekali dengan kari sapi-nya Kari Lam. Kuahnya kental dan dagingnya sungguh empuk, tidak ada drama selilitan sama sekali saat makan ini. Seporsi Rp40ribu tanpa kentang, bihun, dan nasi (akhir bulan kak monmaap, makannya minimalis). Saya juga suka es kopi susu Tak Kie, pahit kopinya tetap ada meski pakai susu, jadi tidak yang kemanisan begitu.
Selain jajan, saya dan teman-teman mengunjungi Kelenteng Jin De Yuan atau juga dikenal dengan nama Vihara Dharma Bhakti yang sudah ada sejak tahun 1650. Tahu kah kamu bahwa vihara ini lah asal mula nama ‘kelenteng’ itu dikenal masyarakat. Dulu vihara ini namanya Kwan Im Teng yang artinya paviliun Kwan Im. Tapi kan lu tahu yah olang Cina (dan orang kita juga) suka belibet kalau ngomong yang susah-susah, kepeleset deh jadi kelenteng (meski jauh banget sih kepelesetnya wkwk).
Tempat berdoa di vihara ini ada di luar bangunan, sehingga siapa saja bisa lihat prosesi ibadah orang-orang. Kasihan karena banyak yang foto saat mereka ibadah dan tidak izin dulu, tapi hebat juga lho tetap pada khusyuk berdoa —ogut kalau solat, baru dilihatin saja sudah merem melek nahan tertawa. Salah satu ritual yang keren kalau di foto adalah pas ada yang lepas sekotak burung gereja ke langit. Burung gereja ini mungkin sudah terikat kontrak sama para penjual burung untuk kerja memang sebagai burung vihara. Mereka dilepas, lalu kembali lagi, dikumpulkan ke satu kandang, terus dikasih ke yang lagi ibadah, lalu dilepas, lalu kembali lagi, begitu saja seterusnya.
Gang Kalimati dan Babi Halal
Another gang senggol di Petak Sembilan adalah Gang Kalimati. Kalau tidak salah, asal mula nama Kalimati adalah karena pas pembantaian masyarakat Tionghoa dulu, mayatnya dibuang ke sungai. Lalu Gang Gloria? Mungkin saat itu Gloria si kudanil tinggal di sini sebelum jadi superstar di film Madagascar. Gang Kalimati tidak jauh berbeda dengan Gang Gloria, tetap banyak penjaja dan orang-orang yang hendak mencari makan. Hanya saja ada beda beberapa jenis makanan, salah duanya adalah babi halal dan laksa bogor.
Saat Suci bilang ada makanan babi halal, saya kira babinya disembelih dengan bismillah dan dikumandangkan takbir. Ternyata maksudnya adalah olahan jamur dan tepung yang dibumbui sehingga rasanya mirip dengan babi panggang merah —tolong jangan esmosi. Adalah kedai vegetarian Koh Handi yang menjajakan aneka olahan sayur berbentuk daging. Teman saya, Tommy si Food Detective sempat mencoba dengan sebelumnya nanya ke Pak Ustadz tentang hukum makan ‘babi halal’ ini. Kata Pak Ustadz, pokoknya tidak ada unsur babi karena kehalalan itu merujuk pada kandungannya, bukan namanya. Jadi gimana jamaah, oooh jamaah?
Di Gang Kalimati saya jajan laksa Bogor dan cempedak goreng. Dua-duanya disajikan di kedai Laksa Lao Hoe, bersama dengan menu favorit lain seperti mie belitung dan es jeruk kunci. Saya tidak pernah tahu ada laksa di Bogor, karena selain Malaysia, saya hanya pernah cicip laksa di Medan yang mana banyak warga Tionghoa juga di sana. Laksa Bogor ini berbeza karena menggunakan santan dan kuahnya berwarna kuning keemasan. Konon resep laksa sudah bertahan sejak tahun 80an, strong dan konsisten tahan godaan untuk tidak membuat laksa dengan keju atau kornet atau sambal-sambal berlevel.
Selanjutnya saya coba cempedak goreng. If you don’t know what is cempedak, dia adalah adiknya buah nangka yang ukurannya lebih kecil, tekstur lebih lembek, namun rasanya sedikit keduren-durenan. Cempedak dibalut tepugn terigu basah dan digoreng pada minyak panas, mirip caranya dengan masak pisang goreng. Wah enak banget rasanya. Sebaiknya disantap saat hangat dan disiram kuah gula merah.
Keluar dari Gang Kalimati, kami menuju Kali Krukut dan menyusuri jalan sampai bertemu Vihara Tanda Bhakti atau bahasa Tionghoa-nya adalah Tang Seng Ong Bio. Berbeda dengan vihara di Gang Gloria, tempat berdoa di vihara ini berada di dalam bangunan utama. Ornamennya cantik-cantik sekali dengan warna merah, kuning, dan nuansa hangat dari lilin. Kebetulan tidak ada orang berdoa hari itu, jadi kami punya banyak waktu untuk foto-foto hits dan duduk santai di dalam di pinggir kolam ikan koi.
“Kamu datang lagi ke sini pas Minggu, atau ke CFD (Car Free Day) Senayan, biasanya kita—Geng Sepeda Onthel—kumpul dan foto-foto pakai baju seragam”, kata seorang kokoh yang saya lupa kenalan. Vihara ini sering jadi latar foto bagi mereka yang gemar memakai pakaian vintage, tak heran karena vihara sangat terawat dan bersih dari sampah.
Mungkin Gubernur Jenderal VOC saat itu, Jan Pieterszoon Coen tidak pernah menduga bahwa langkahnya membawa orang Tiongkok ke Batavia akan memiliki pengaruh seperti ini. Apakah dia pernah menduga akan adanya babi halal? Cempedak goreng? Atau kawasan yang terfokus khusus untuk etnis tertentu seperti kampung cina dan kampung arab? Baru seharian mengeksplor Glodok hingga ke gang-gang kecilnya, saya sudah dapat banyak cerita sejarah Jakarta. Itu baru satu lokasi, dan masih jadi rasa penasaran besar saya, bagaimana orang Tiongkok menghadapi pembatasan ‘hanya boleh berdagang’ namun kini mereka adalah sehandal-handalnya pedangan dan pebinis.
12 Comments. Leave new
Kereeeeeeennnnnnn kaaakkk! 😊👍
Kita harus kesana lagi nih, deket deket sini banyak juga yah yg kece
-gepenk-
Nama yang paling sering disebut di blog ini
Makasiiihh. Ini mesti salah satu dari 16 geng #jalanbareng deh wkwk
Iya, aku mau cobain mie kangkung. Sama keliling kenalan sama suku Betawi itu lhooo~~
Aku nyesel kemarin gak ikut kesini. Hiks 🙁
Kapan kapan ikut yah Mas Oji, biar ada yg bisa fotoin aku dari udara, biar keqinian gitu wkwkwk
olahan babi emang aromanya menggugah2 ya..
penasaran sm babi halal haha..
btw kamera dan lensanya pke apa? cakep ih..
-Traveler Paruh Waktu
kalimati itu bukannya yg deretan seafood semua kalo malam yaaaa?? jajanan itu di sebelah mananya?? huahahahah, walopun aku udh ampir 2 thn di manggadua,deket banget ama nih tempat2, tp ttp aja blm tau di mana kuliner2 halalnya. mau ksana ama suami kita takut ga nemu. memang hrs bareng org yg udh tau wilayahnya :D. ajak akuuu dong mbaaa, kalo kulineran di sana lagi :D.
Sama aku juga penasaran, tapi pinginnya babi beneran hahahaha. Kalau cium masakan dari babi gitu wanginya wah ya menggoda iman.
Foto yg aku ambil pakai Lumix GX85 mas, lensa 12-32mm dan fix 42,5mm. Mas Bara biasa pakai apa kalau foto?
Wah ini aku kurang tempe, seru banget kalau ada banyak seafood di situ. Kalau siang ya begini ini, pasar dan aneka jajanan makanan asik asik. Tinggal masuk aja terus mblusuk mblusuk.
Siaaapp. Nanti pas ada main lagi aku ajak Mba Fanny yah. Kita makan makaaaaann~~
Postingan ini sukses bikin saya ke Glodok hari Sabtu kemarin. Dulu pernah sih ke Klenteng Petak Sembilan, tapi entah kenapa dulu gak eksplor makanan di daerah situ. Kemarin cukup sukses berburu makanannya, dan semuanya enak-enak. Thank you ya udah nulis ini.
Yay semoga main ke Glodoknya seru ya, Mas Bama! Jajan apa saja kemarin di sana?