Dinamai berdasarkan sejarah bahwa dulu penjualan sarang burung kutilang sebagai bahan utama the gourmet nido soup sangat tinggi, El Nido—yang artinya sarang dalam bahasa Spanyol, merupakan kawasan (atau mereka menyebutnya municipality) kelas satu di Pulau Palawan. Bagaimana gak kelas satu, El Nido ‘dianugerahi’ berbagai award yang sangat fancy seperti The Best Beach and Island Destination in the Philippines oleh CNN Travel, ranking 10 dari Top 25 Beaches in the World oleh TripAdvisor, juga jadi ranking 1 dalam The World’s top 10 Islands versi Travel+Leisure. Rasanya menempuh perjalanan sejauh 2.452mil untuk kesini harusnya gak sia-sia bukan? Seberapa menarik El Nido? Mari kita lihat.
Jum’at
09 AM : MENUJU EL NIDO DENGAN JALUR KAMPUNG
Perjalanan dari Jakarta ke Manila kami tempuh dengan Cebu Pacific—sahabatnya Lion Air karena sama-sama hobi telat, lalu lanjut terbang ke Puerto Princesa dengan AirAsia lewat bandara domestik. Bandara Internasional Ninoy Aquino (NAIA) surprisingly sangat bagus. Yang paling membuat senang adalah adanya air minum panas gratis untuk para penumpang! Keren! Akhirnya keinginan terpendam saya tentang bandara akhirnya terwujud hehehe. Lumayan bisa seduh Milo hangat. Bandara ini bersih, rapih, terawat, mengingatkan saya akan HKIA namun kurang nuansa abu-abu saja sih.
Nah bandara domestik ini malah lucu, dia benar-benar mirip terminal bus–analogi paling dekat adalah boarding room Bandara Halim atau Bandara Adisutjipto. Tempat duduk berkumpul di tengah dan ramai sekali. Orang-orang pun banyak yang sembarangan mulai dari sembarangan buang sampah, sembarangan bongkar muatan disebar ke kursi-kursi, sembarangan duduk, sembarangan dandan (banyak bancita-bancita lho disini hahaha), dan sebagainya. Dan disini saya semakin sadar bahwa rupa wajah orang Indonesia dan Filipina lumayan mirip lho. Jadi gak jarang orang-orang mengajak saya bicara dengan bahasa tagalog.
Yang sedih dari perjalanan ini adalah saya, Mas Gepeng, dan Mbak Firda, menempuhnya dalam keadaan perut kosong. Sekali-kali isi fuel bekal rambut nenek dan kripik ubi, selanjutnya hanya angin belaka. Apalagi setelah dari Puerto Princesa, kami masih menempuh perjalanan darat dengan van-sharing sejauh 6 jam. Sebenarnya ada penerbangan langsung Manila – El Nido, namun budget hanya cukup untuk menggunakan rute kampung itu.
07 PM : MALAM MENCARI MAKAN
Setelah menempuh 6 jam perjalanan memabukkan dan check in hostel, kami mencoba menyelamatkan diri dari kelaparan. Kami bertiga naik tricycle (semacam bentor) menuju pusat kota, ongkosnya PHP50 untuk sekali jalan. Satu tricycle muat untuk 4 orang, kalau mau sensasional lagi sebenarnya bisa berenam tapi jangan lah, malu. Kami makan kebab isi ayam dan falafel, per porsi harganya PHP200 – PHP230 dengan kekenyangan maksimal karena porsinya besar sekali dan rasanya enak. Pilihannya disini sebenarnya ada banyak, mulai dari masakan Italia, makanan lokal, seafood yang fresh-grilled, gelato, crepe, olahan babi, dan sebagainya. Namun seperti biasa, turis kere selalu cari yang murah dan porsi besar.
Sabtu
09 AM : GAK JADI ISLAND HOPPING
Menurut tabel cuaca, Desember adalah salah satu bulan terbaik untuk berkunjung ke El Nido selain Januari hingga Mei. Curah hujan rendah dan suhu summer-nya gak jauh berbeda dengan Jakarta, sekitar 28°C. Tapi seperti kata seseorang, “every island has its own magic”. El Nido ternyata sedang basah-basahnya. Hujan besar setiap malam. Langit gloomy. Jalanan becek. Dan island hopping tour yang jadi paket andalan wisata disini bisa saja di cancel berjamaah karena cuaca gak mendukung. Seperti yang kami alami juga, tour kami di cancel.
Kabar buruk itu gak hanya membuat kami bingung hendak menghabiskan waktu kemana, tapi juga beberapa tamu asing yang sudah bangun pagi-pagi, bertelanjang dada, minum bergelas-gelas kopi, mengatasi hangover, dan mengobrol bebas dengan kami. Mereka menantikan jalan-jalan antar pulau dan laguna, tapi apa mau dikata, hari itu mereka (dan kami) harus mencari ide lain. “Yeah we don’t know what to do, the weather is sucks”, kata seorang bule Brazil yang mengisi pagi kami dengan berbincang tentang kehidupan di Brazil (tentu saja), Macau, Jakarta, Bahasa Mandarin, Lombok, Bali, juga tentang kopi Aceh—btw, cerita kopi dan marijuana memang selalu menarik.
Setelah pagi tadi main ke pasar, sarapan bubur kue-beras (maaf, saya lupa sekali namanya apa), dan cemil telur asin yang gak terlalu asin, kami mencoba menyusun rencana seadanya. “Ke Pantai Corong-Corong saja lah, dekat situ kok”, kata Mas Gepeng. Ide selanjutnya adalah kami akan menghabiskan hari di pusat kota, mungkin makan seafood sambil melihat pemandangan laut atau yah, apa saja lah.
Kami menyeberang jalan menuju Pantai Corong-Corong. Lokasinya dekat sekali karena hostel kami yang berada di Taytay National Highway berdiri sejajar dengan pantai. Memang gak bikin takjub, tapi daripada gak ke pantai sama sekali ini lebih mending. Pantai Corong-Corong, atau julukannya The El Nido Mahogany, sangat cocok menjadi pemandangan muka ketika bangun pagi, makan siang, dan jalan-jalan sore. Airnya tenang, gak banyak batuan karang dan pantainya luas. Kegiatan paling seru disini bisa naik pohon kelapa atau main kejar-kejaran kepiting yuyu. Bahagia itu sederhana gengs, kadang-kadang tapi.
Selain Corong-Corong, kami juga datang ke Pantai Nacpan. Pantai ini ditawari oleh seorang supir tricycle yang sebenarnya kami hired untuk antar ke pusat kota. Tapi si abang menawarkan sebuah paket perjalanan wisata murah meriah ke pantai dan air terjun. Cerdik sekali melihat kesempatan turis bingung gak bisa island hopping, lalu ditawari paket wisata dan memaparkan indahnya dengan foto-foto di handphone-nya.
“One thousand peso to only Nacpan Beach, okay?” saya memastikan tour dadakan yang kami ambil, tanpa mengunjungi air terjun Nagkalit-Kalit meski searah. Harga segitu untuk 3 orang dan antar jemput memang lumayan, karena jika mengikuti van sharing tour, harganya bisa 600 peso per orang. Kalau mau mampir ke air terjun harganya tambah 200 peso, dan sebenarnya ada 2 air terjun yang direkomendasikan tapi karena malas jadi lah kami hanya pergi main ke pantai.
11 AM : OFF ROAD MENUJU NACPAN BEACH
Akhirnya dengan naik bentor, kami bertiga menempuh perjalanan panjang menuju Pantai Nacpan. Jangan kaget jangan khawatir. Meski jalanan gak selamanya mulus, para pengendara bentor sudah sangat terlatih dan insting keseimbangannya sangat mumpuni.
Kalau kamu gak mau pakai bentor melainkan bawa motor sendiri sebenarnya bisa-bisa saja. Banyak tempat penyewaan motor di El Nido, motornya scooter-matic kok, bukan RX king seperti yang biasa dipakai abang bentor. Tapi papan petunjuk arah ke Pantai Nacpan minim sekali, jadi pastikan kamu sudah punya SIM Internasional atau download peta offline ya.
Pantai Nacpan gak jauh beda dengan Corong-Corong. Garis pantai panjang dan cocok untuk bersantai riang. Bedanya ombak disini lebih besar sedikit dan gak ada kapal parkir sehingga banyak turis yang berenang, berjemur, main bodyboard, juga leha-leha ciuman di tengah ombak. Ada beberapa warung makan dan gazebo untuk bersantai santap siang. Makanan yang disajikan adalah aneka seafood seperti ikan, udang, kepiting, dan cumi. Kalau lihat tampilannya sih biasa saja, apalagi warna nasinya butek-butek gitu, gak selera. Tapi banyak kok yang makan dan piringnya bersih banget, artinya mungkin rasanya lumayan.
Pantai ini benar-benar untuk menghabiskan waktu. Fakta menakjubkan yang saya temui adalah bahwa harga mie gelas instan disini sama dengan yang ada di satu-satunya convenient store Bandara Puerto Princesa. Saya sempat kira toko itu culas dengan menaikkan harga, tak tahunya memang harganya segitu. Pun harga kelapa muda antar warung juga sama, termasuk yang berjualan di pasar. Mental waspada-dengan-keculasan-orang-di-daerah-wisata yang selama ini terbangun dengan baik seolah menampar dirinya sendiri. Orang-orang di Palawan gak culas.
Dan siang itu di Nacpan Beach adalah moment saya gak lagi menjadi haram-food-virgin karena mie instan yang saya makan ternyata mengandung babi. Wakwaw!
4 PM : JAJAN SORE SAAT GERIMIS
Mempertimbangkan adanya kemungkinan tour island hoping kami batal lagi, saya langsung menuju ke Terminal Bus El Nido untuk negosiasi akomodasi. Jadi jika besok tour kami batal, kami akan kembali ke Puerto Princesa naik van sharing yang keberangkatan terakhirnya adalah pukul 6 PM. Namun jika tour kami jadi jalan, maka kami akan naik bus (entah Cherry atau Roro Bus) sekitar pukul 9 PM. Beruntungnya petugas tiket bisa sangat fleksibel. Dia pun akan mangkal seharian di terminal, sehingga kami gak khawatir akan uang muka PHP300 yang telah dibayarkan dan dia pun berjanji akan mencarikan van kalau kami gak jadi naik bus.
Setelah cukup lega dengan kepastian akomodasi pulang esok hari, kami ke pasar mencari cemilan. Sore itu gerimis ringan membasahi El Nido, perut lapar sekali setelah hanya diisi mie instan haram. Saat sore, ada banyak jajanan di sekitar pasar. Harganya pun murah-murah. Apakah saya mengalami kesulitan berkomunikasi? Gak tuh, selama orang yang mengajak saya bicara bahasa tagalog tersadar bahwa saya kebingungan dan sesungguhnya orang Filipina even dia tukang jeepney atau tukang jualan kulit ayam goreng masih lumayan bisa Bahasa Inggris barang menyebutkan harga jualannya, jadi tenang saja, seberapa rendah pun hasil TOEFL mu, bisa kok berkomunikasi disini.
7 PM : PIZZA!
Malam itu cuaca masih gak menunjukkan cerianya. Gloomy konsisten, seolah memang ingin ikut berpartisipasi pada pemanasan global. Kami menghibur diri dengan makan pizza di Trattoria Altrov’é, sebuah restoran Italia yang lumayan ramai dan mungkin satu-satunya dengan waiting list. Seberapa lama waktu kita menunggu adalah tergantung tamu yang tahu diri di dalam sana.
Bangunan restoran kokoh ditopang oleh kayu-kayu bercat gelap. Ruang makan utama ada di lantai 2, lantai bawah adalah dapur dan bar kecil yang sepertinya hanya bisa diakses dari pintu kedua. Saat tiba kesempatan kami masuk, kami harus melepaskan alas kaki dan menyimpannya di rak. Hal ini sama persis dengan hostel, yaitu kami menaruh alas kaki di luar.
Menurut pemaparan di buku menu, barefoot atau telanjang kaki adalah tradisi orang Filipina untung menghindari kuman dan kotoran ikut terbawa masuk ke dalam rumah. Menarik dan efisien juga ya, kita jadi gak perlu repot menyapu kotoran
Ambience tempat ini enak sekali. Temaram hangat dan tempatnya gak terlalu besar. Jadi sangat intim, wajah pun terlihat makin cantik karena seperti terpapar sunlight. “Kalau besok masih gak bisa tour, kemana lagi ya kita?”, tanya saya bingung memecah hening, pun balasan yang saya terima juga hanya wajah yang bingung. Gak bisa main ke laguna di El Nido memang menyebalkan. Tapi pizza datang mencerahkan hati dan tampak terlalu lemah sehingga harus segera dihabiskan.
Pusat kota sangat ramai dengan turis asing. Mereka jalan kaki keliling antar bar dan toko pakaian. Di sini pun saya masih menemukan fakta bahwa harga barang jualan antar toko pun sama. Misalnya dry-bag, yang jual di ruko, di warung, atau di pinggir jalan, harganya sama semua. Kok bisa ya kompak sekali begini? Kalau mau beli sebenarnya barang gak bisa ditawar, tapi kemarin kita coba-coba tawar yang jual di pinggir jalan, bisa sih turun PHP50 meski setelah beli jadi gak tega juga. Namun yang sama lagi adalah mereka semua ramah dan gak nakal. Maksud saya, benar-benar sopan dan gak resek. Menyenangkan berjalan berkeliling di sekitar sini.
9 PM : BASKET DAN BALON TIUP
Saat hendak pulang kembali ke hostel, kami menepi pada sebuah lapangan olahraga yang jadi tempat perhelatan lomba basket antar RT. Tahu kah kamu bahwa orang Filipina sangat obsessed dengan olahraga basket? Kalau kamu jeli, diberbagai sudut kota banyak sekali ada ring basket, dari yang sudah lapuk sampai yang masih baru. Nyatanya olahraga ini memang sudah mengakar disini sejak 1898, saat penjajah Amerika memperkenalkan basket sebagai aktivitas ekstrakulikuler sekolah. Akhirnya olahraga ini digemari dan sejak kemenangan Filipina pada FIBA World Championship tahun 1960, olahraga ini terus berkembang dan jadi kebanggaan nasional.
Tapi malam itu yang menarik bukan hanya tentang bola basket, melainkan betapa senangnya para Filipino memecahkan balon. Jadi setelah pertandingan basket selesai, ada balon-balon yang diterbangkan untuk menghujani para pemenang. Saat balon mulai dilepas, penonton (mayoritas laki-laki) berlari ke tengah lapangan, mendekati balon, lalu berlomba memecahkannya. Semua melakukannya dan tertawa bersama. Meriah sekali.
Lelah dan kenyang menikmati satu setengah hari di El Nido tanpa island hopping, menyenangkan juga ya. Kami bermalam di dormitory Amos Hostel yang dipesan melalui situs booking.com. Mengapa pilih dorm? Karena saat itu saya pergi bertiga dengan suami dan teman perempuan, gak bijak rasanya ketika dia harus tidur sendiri sedangkan saya berdua sama Mas Gepeng. Di situs booking.com untungnya banyak sekali pilihan penginapan dormitory murah, salah satunya yang kami tempati ini harganya hanya PHP3003 per malam untuk 3 orang, atau artinya Rp90ribuan per orang per malam. Murah banget! Fasilitas dorm-nya pun menyenangkan, ada tirai, stop kontak persis di sebelah bantal, kasur bersih, AC dingin, kamar mandi juga bersih, sangat affordable.
11 PM : THUNDER, FEEL THE THUNDER!
Hujan deras mengguyur El Nido. Langit bergemuruh dan suara benturan air hujan dan atap seng membuat saya gak bisa tidur. Bukan karena keberisikan, tapi karena semakin patah semangatnya untuk bisa island hopping di hari terakhir kami di El Nido besok. Saya pasrah saja. Senggaknya saya berada di tempat yang orang-orangnya suka bersenang-senang, jujur, religius, friendly, dan layak eksplor.
6 Comments. Leave new
wah seru juga tiiin. hikmahnya kamu malah jadi banyak icip2 dan mingle sama filipino2 yaa. pas aku ke sana, 2 hari bener2 cuma habis di laut dan menggosong.
wah seru banget petualangannya mbak……kepitingnya imut n lucu …anak2ku pasti suka nih
Orang Indo ama filipin emang mirip banget kayanya yah. Disini gue sering banget disangka filipino��
Pas disana pun banyak anak kecil main mba. Cari kepiting sama main pasir 🙂
Buset di Amrik aja tetep dianggap Filipino. Padahal ya menurut gue, cakepan orang Indonesia hahaha
Iya Mira, lumayan seru juga ternyata di kotanya, meski ya tetep gosong juga sih hahaha