Hiking sama Orang-Orang Asing di Cappadocia

“Hei hei!” teriak saya memanggil sosok yang saya kenali baru saja melewati King’s Coffee Shop. “Lo ke sini juga ternyata, baru sampe?” saya menyambutnya. Kami gak saling kenal tapi kami bertemu dan ngobrol sedikit pas lagi sarapan di Taksim, Istanbul. Namanya Siwi, seorang Jerman berdarah Asia yang sudah solo traveling ke lebih dari 40 negara. “Gue sama teman gue mau hiking ke Red atau Rose Valley, mau ikutan?” saya mengajaknya, kali saja dia gak ada agenda. “Oh boleh boleh, tapi gue taroh barang-barang dulu ke hostel, tuh di sana dekat, mau tunggu gak? Gak bakal lebih dari lima belas menit,” katanya. Saya setuju. Saya lanjut duduk di dalam King’s menunggu martabak bayam keju saya selesai dibuat sambil menghangatkan diri dengan teh tawar panas.

Hari itu saya dan Agung memang rencana mau hiking mengitari lembahan cantik yang subuh tadi kami saksikan dari balon udara. Karena lembahannya besar dan luas, kami siapin bekal makan siang dan air minum yang banyak supaya kuat. Apalagi Cappadocia hari itu sedikit lebih hangat dari kemarin, saya kan jadi takut kepanasan—padahal masih 15º wkwk lebay amat yha. Dari sedikit hal yang kami persiapkan itu, ketemu orang asing dan hiking bareng bukanlah salah satunya. Setelah Siwi datang dan kami nyamperin Agung, jalanlah kami bertiga.

Menuju Bukit Berdebu

“Lewat sini bisa nih nanti tinggal lurus,” kata Siwi sambil menunjukkan peta digitalnya. “Wih, peta apaan nih?” tanya saya karena penampilannya gak kayak Google Maps atau Waze. “Gue selalu pake ini, asyik bisa disimpan online jadi gak perlu nyambung internet, selama ini gue hampir gak pernah beli SIM card kalau ke mana-mana,” jelasnya. Namanya MAPS.ME, ada di AppStore dan PlayStore. Kata Siwi offline maps di sini lebih user friendly dan reliable ketimbang Google Maps, kapan-kapan coba ah.

Kami bertiga jalan bareng menuju Red Valley dulu. Sebenarnya saya gak tahu sih beda dan batas antara Red dan Rose Valley itu apa haha jadi ya ikut Siwi dan Agung saja, saya percaya mereka berdua akan melakukan yang terbaik. Untuk jalan-jalan mengitari lembah sebenarnya ada beberapa cara, kita bisa naik ATV, naik motocross, naik kuda, mobil bisa tapi hanya sampai tempat tertentu saja, atau yang paling ekonomis adalah hiking kayak kami. Tapi saran saya sih mending hiking saja. Berada di tempat seindah dan semenarik ini paling benar dinikmati perlahan sambil jalan.

Setelah beberapa waktu, kami tiba di ketinggian salah satu tebing (atau bukit?). Dari atas ini kami bisa melihat deretan tebing Rose Valley, batu-batuan besar menumpuk membentuk tebingan, juga beberapa spot hutan kecil berdaun kuning. Cantik sekali. Saya berkali-kali takjub kok bisa ada tempat kayak gini ya. Kok bisa ada tebing terus dalamnya ada ruangan kotak-kotak gitu lengkap dengan tempat duduk dan jendela, kok bisa ada tebing menjulang kayak es krim itu datang dari mana. Ingin bilang ini kayak di planet lain tapi belum pernah main ke planet lain haha. Siwi lalu cerita beberapa tempat yang pernah dia kunjungi yang juga punya pemandangan gak karuan bagusnya, salah satunya Lebanon.

“Luar biasa bagus banget, lo harus ke sana, orangnya juga baik-baik,” katanya. Siwi ini suka jalan-jalan ke negara yang eksotis kayak ke Tanzania, Ekuador, Georgia, Moroko, Nepal, Yordania, Myanmar, bahkan dia bingung pas kami bilang mau ke Iceland. “Kalian kenapa sih main ke negara-negara mahal gitu?” katanya. Saya hanya jawab, “Ya kan bagus ada aurora,” wkwk. Sebenarnya kalau Siwi main ke blog ini dia pasti tahu kami juga main ke negara-negara eksotis dan ekonomis. Tapi kami tuh punya hasrat mau main ke tempat-tempat dingin gitu lho pemirsa, capek bok kepanasan mulu tiap hari di negara sendiri. Masa keluar negeri kepanasan lagi.

Gak Kenal Maka Jalan Bareng

Kami lanjut ngobrol sambil jalan ke arah Rose Valley. Kami menuruni tebing menuju dataran di bawah sana dan mengikuti jalan setapak berpasir yang kalau jalan pelan-pelan berasa lagi di film Quite Place. Saat tiba di salah satu persimpangan, kami kebingungan. Menurut peta kami harus jalan lurus ke sana. Tapi pas saya survey, jalannya buntu malah cenderung seram karena kayak ada bekas orang tinggal situ, jangan-jangan kan mereka sembunyi terus pas saya lengah nanti diculik. Sebenarnya ada beberapa petunjuk arah mulai dari yang agak resmi sampai yang vandalisme abal-abal, tapi kami bingung ikut yang mana. Saat Siwi dan Agung masih mencari tahu arah mana yang benar untuk menuju Rose Valley, kami bertemu dengan laki-laki India dan ternyata dia juga lagi kebingungan.

Mereka semua berdiskusi padahal belum kenalan. Tapi biasanya gitu gak sih. Saya beberapa kali pas ketemu orang asing, ngobrol, nanya namanya belakangan kayak lupa gitu. Contohnya kayak sama Siwi. Saya baru nanya namanya pas dia mau ke hotel naruh barang haha. Bersama-sama mereka mencoba analisis jalur, petunjuk, dan peta offline. Sungguh diskusi yang berat. Saya nunggu hasilnya saja karena saya lagi sibuk. Sibuk foto-foto haha. Urusan jalur mau ke mana saya bebas saja lah, nyasar juga hayuk yang penting gak sendirian.

Misal nih misal amit-amit saya terpisah rombongan gitu terus nyasar dan hari sudah gelap, saya akan tidur saja di dalam gua daripada cari jalan pulang. Saya yakin di sana lebih hangat ketimbang di tengah sini. Terus tinggal tunggu teman-teman nyariin deh. Lha yakin banget dicariin? Iya, Agung kan harus bertanggung jawab atas keselamatan saya ke Mas Gepeng hahaha. Ya gak gitu sih. Tapi teman-teman ini pada baik semua. Saya yakin pasti nanti dicariin dan mereka akan berdoa semoga saya gak dimakan hyena.

Selang beberapa menit, ada satu lagi orang asing bergabung. “Hehe gue nyasar,” katanya, “Tadi gue dari sana tuh dan ini gue gak tau harus ke mana.” Si ramah ini namanya Teresa, orang Jerman juga. Saya perkenalkan dia ke Siwi dan memperingatkan plis jangan ada bahasa Jerman di antara kita. Entah bagaimana proses kebatinan sekumpulan orang asing ini, Teresa dan laki-laki India gabung dan lanjut hiking bareng kami. Wow perkumpulan yang menarik ya. Setelah sidang isbat dadakan, akhirnya jalur telah diputuskan. Kita akan mengikuti jalan setapak kecil dengan pohon warna warni di kanan kirinya. Pilihan bagus!

“Oh hi,” sapa si laki-laki India ke saya. Gak ngeh dia kalau saya bagian dari geng baru ini karena hanya diam-diam saja dari tadi. “Hai, gue Justin, lo siapa dah?” tanya saya. Namanya Nihaal, orang India tapi tinggal di London. Entah kenapa dia mengingatkan saya dengan Henry Golding.

Romantika Hiking dengan Para Orang Asing

Hiking bareng mereka ini seru sekali. Teresa itu kalau nyeletuk lucu banget. Polos tapi kocak. Kalau Siwi, dia ini ibarat biologist di kelompok hiking baru ini. Dia tahu banget mana buah yang bisa dimakan mana yang gak. Sepanjang hiking, dia sudah ambil dua buah. Yang pertama kayak apel-pir gitu dan dia bilang teksturnya berair dan rasanya manis. Kedua buah anggur hijau. Iya, ada pohon anggur di Cappadocia huhu keren ya. Karena posisi buahnya tinggi, Nihaal yang ambilin dan langsung kasih ke saya. Wih anggurnya segar pemirsa! Ada kecut-kecut manis gitu. “Lo beneran bisa survive kalau ditinggal di tengah hutan deh,” saya memuji Siwi.

Kami akhirnya tiba di Red atau Rose Valley lah terserah. Kami papasan dengan turis berkuda dan mereka hendak bersantai di warung. Kami istirahat juga di dalam rumah gua yang ternyata itu adalah gereja. Namanya Haçlı Kilise. Di dalam gereja sejuk sekali kayak ada kipas angin. Apalagi posisinya di ketinggian jadi kami bisa mengintip lembahan langsung dari dalam gua. Tapi hati saya terpoteque pas lihat ke bawah, para kuda diistirahatkan menghadap batu tebing tanpa dikasih minum. Ini yang paling saya gak suka dari (so called) tempat wisata yang mengeksploitasi hewan. Para kuda kerja keras bawa turis jalan-jalan, tapi malah gak dikasih minum. Jahat. Halo pulici 📞

Memasuki sore angin semakin sejuk. Bebatuan dan perbukitan di sekitar kami mulai mengeluarkan remang-remang jingga yang mempesona. Seksi sekali. Meski begitu, saya sudah lelah pemirsa. Tanjakan-tanjakan panjang menguras habis energi saya. Kami sempat beberapa kali sharing jajanan untuk mengisi energi. Siwi bawa manisan buah dan Teresa bawa almon panggang seplastik yang dia beli sebelum hiking. “Saya gak tahu sih tapi kacang ini mahal sekali, di Jerman gak segininya,” katanya. Saya memakannya beberapa dan merasa makin capek. Kaki capek, mulut capek ngunyah. Tapi kacangnya enak. Manisan buahnya Siwi paling enak.

Semakin sore kami jalan semakin cepat kejar-kejaran dengan matahari terbenam. Mereka sih, ogut mah kecepatan siput. Kami takut kemalaman dan masih gak tahu apakah di atas sana ada taksi/shuttle untuk nganter kami balik ke kota. Jadi kami terus berjalan, terus berjalan, gak lama akhirnya saya sudah di paling belakang tertinggal jauh dari rombongan. Mereka sesekali berhenti menunggu saya menyusul, lalu pas saya sudah dekat, mereka lanjut jalan. Gitu terus. Ogut gak sempat istirahat sama sekali dan harus terus jalan.

Mau pakai alasan mereka ini orang Eropa biasa jalan kaki, tapi si Agung gak kelihatan capek. Kan sebal ya. Untungnya dia setia nemenin dan nungguin saya di belakang sini. “Gung aduh, aduh, ampun, capek, lo duluan dah entar gue nyusul, masih keliatan kok,” kata saya saat berhenti di tengah tanjakan dan sudah gak sanggup lagi jalan. Saya sudah beberapa kali berusaha nyalip rombongan pas turunan, saya lumayan ahli lah kalau turun menurun, bisa sambil lari malah. Tapi pas tanjakan, disalip terus tahu-tahu balik maning di paling belakang. Ya sudah lah. “Ayok, situ doang kok deket yok, bisa bisa,” Agung kasih semangat.

Perhatian, ‘yok bisa yok’ itu toxic positivity ya pemirsa!

Nihaal dan Siwi ingin cepat-cepat tiba ke atas sana untuk lihat semacam jembatan yang kalau saya intip gambarnya sekilas mirip kayak Delicate Arch di Amerika. Saya sih bodo amat lah mau jembatan kek mau dibilang ada tukang gorengan di atas kek, yang penting saya gak disuruh buru-buru. Ujung perjalanan kami sudah kelihatan yaitu sunset view point. Banyak orang di sekitar sana. Ada yang hahahihi, ada yang berkumpul di tepian tebing lalu foto-foto, ada juga yang hanya duduk sambil rangkulan. Gak lama, saya melihat Nihaal dan Siwi sudah jauh di ujung sana, bahkan sudah hampir gak nampak karena ketutupan tebing. Mereka tadi diem-diem minum energy drink apa kok cepat betul jalannya.

Pas akhirnya saya tiba di atas, mereka sudah duduk-duduk dan menyambut saya. “Hei, lo baik-baik aja kan?” tanya Nihaal. Saya gak jawab apa-apa langsung rebahan di tanah. Gile capek banget pemirsa ampun deh. Jompo bener asli. Huuuh haaah huuuh haaah. Satu hal yang membuat saya lega selain bisa ‘muncak’ sebelum gelap, adalah para orang asing ini gak memandang saya lemah atau merepotkan dengan harus nungguin beberapa kali. Mereka baik-baik saja. Cool.

Setelah nafas teratur, saya nanya ke Agung “Mana sih yang tadi mau dilihat Nihaal sama Siwi?” Sambil nunjuk ke arah timur, Agung menjelaskan bahwa ternyata tempat itu bukan jembatan. Iya memang bukan sih haha. Kayak tebing biasa aja gitu kok, gak kayak Delicate Arch juga. Ini akal-akalan orang foto saja terus sebar ke sana sini tapi ternyata palsu. “Yap, gitu aja gak menarik,” kata Siwi sambil menatap nanar. Yang lebih menarik adalah fakta ternyata si Teresa mulai trekking dari sini tadi pagi :’)))))

Di Ujung Langkah-Langkah Berdebu

Oh iya, sepanjang hiking kami berjumpa beberapa orang asing lain tapi gak kenalan. Ada kelompok pesepeda gunung yang melintasi liuk tebing dan bukit dengan MTB. Kami juga ketemu keluarga kecil lagi hiking bareng dan mereka tampak sangat menikmati aktivitas ini. Seneng deh. Saya mengamati mereka sambil senyum-senyum karena rona bahagianya menular ke saya.

Saya memotret keluarga ini beberapa kali dan kepikiran mau nanyain alamat email mereka untuk kirim hasil foto. Saya yakin mereka akan suka karena fotonya bagus dong HAHA PEDE BAT. Tapi niat itu saya urungkan karena takut ganggu mereka yang lagi duduk ngobrol sambil menikmati matahari yang posisinya sudah hampir rata dengan horizon. Sampai kami pergi dari sana pun mereka masih khusyuk menikmati pemandangan. Duh jadi kangen Mas Gepeng. Duduk sama dia di ujung tebing gini sambil ngomongin kucing dan anjing, sambil nyanyi lagu receh, sambil mikir nanti makan apa, sambil pijit-pijit kaki, pasti dobel dobel bahagianya.

Sekarang dinikmati dulu bersama teman-teman baru, sama diri sendiri juga, merekam momen-momen yang gak akan saya lupa sampai kapan pun karena terlalu indah.

Seindah senja di lembahan Cappadocia sore ini.