Cerita-Cerita Turki dari Tiga Puluh Satu Foto Kamera Hape

APA??? TIGA PULUH SATU??? Hahaha, iya segitu pemirsa. Saya begitu menikmati potret berbagai hal yang saya temui selama main ke Turki dengan kamera hape. Meski bawa kamera, saya juga banyak mendokumentasikan perjalanan dengan kamera hape dari awal di Istanbul, main ke Balat, Buyukada, main ke warung, ketemu kucing, beli jajan, I’m an avid photo-taker I guess. Looking back these raw moments always tingle my belly and I found myself smiling ear to ear. I like that. And I also like the moment, heroic moment to be honest, right after I got the immigration stamp on my passport.

“Mbak, Mbak dari Indonesia? Bisa bantu saya, Mbak?” tanya sesosok wanita bertubuh mungil menghentikan saya yang lagi benerin jilbab di toilet wanita Bandar Udara Istanbul. Suaranya getir, matanya berkaca-kaca, dan tubuhnya gemetar. Dia seorang Bali yang diminta oleh saudaranya main ke Turki tepatnya ke Antalya, dengan membawa buanyak buanget barang titipan. Saya tahu benar bagaimana rasanya tersesat dan gak tahu mau ke mana, mau ngapain, harus gimana, harus ke siapa, apalagi di tempat serba asing seperti ini. Akhirnya saya menemani si Mbak sampai dia bisa menghubungi saudaranya, sarapan bareng, terima bookingan tiket lanjutan ke Antalya, dan mengantar ke gate keberangkatannya.

Saya berangkat dan tiba ke Turki seorang diri. Mungkin kalau gak ketemu si Mbak, saya akan sama bingungnya dengan dia. Orang tadi nyari gate keluar saja salah berkali-kali haha. Tapi karena harus bantuin si Mbak bahkan sampai bawain kopernya yang saya yakin beratnya dua kali lipat dari berat si Mbak-nya, saya jadi merasa lebih percaya diri gitu. Kalau saya bisa bantu orang lain, masa gak bisa bantu diri sendiri, yegak? Pengalaman ketiga tiba di negara orang sendirian, saya yakin di Turki pasti akan sukses. Seenggaknya bisa nemuin hostel lah HAHA.

Tiba di Istanbul, saya ngikutin Google Maps menuju hostel. “Ah deket, cuman empat puluh lima menit jalan kaki,” gumam saya. Dengan bawaan kerir depan belakang, saya yakin sanggup jalan dari kawasan Istiqlal menuju Taksim. Untungnya Turki sedang sejuk, jadi lumayan meski capek tapi gak akan bikin emosi. Setelah sekian lama berjalan, sekian kali berhenti untuk menyapa para kucing, sekalian kali menegak air minum, akhirnya saya tiba di hostel. WAH bangga betul bisa menemukan hostel tanpa tersesat, tanpa pengsan di jalanan menanjak, dan tanpa kelojotan kepanasan. Ini prestasi. Baru ini berhasil nyari hostel sendiri, hahaha. Selepas rebahan dan bebersih sedikit, saya lanjut jalan-jalan.

Istanbul di masa pandemi ternyata rame gengs. Saya gak tahu apakah saat normal akan lebih rame, tapi segini sih buat saya rame ya dibandingin Jakarta yang masih PPKM. Saya keliling Taksim, makan siang di Van Kahvalti Evi, main sama kucing-kucing, teman saya yang nyusul akhirnya sampai, terus kami jalan-jalan ke kawasan Istiqlal, makan baklava, kehujanan, besoknya juga jalan-jalan keliling pulau, Istanbul ternyata gak sekedar kebab dan masjid cantik. It was beyond my expectations. Bohong ding. Ya tentu beyond expectations karena jujurly saya gak ekspek apa apa hahaha. Saya cari tahu beberapa saja tapi gak pernah betul-betul mengingat. Jadi memang semua serba kejutan termasuk hal-hal yang saya potret pakai hape.

Seperti yang kalian lihat di foto header tulisan ini, saya selalu membawa kamera dan hape berdampingan di badan. Gak jarang kamera saya simpan saja di tas karena malas nenteng. Nah tulisan ini khusus menampilkan semua foto yang saya ambil pakai hape. Ini tulisan spesial lho karena saya jarang banget posting foto yang diambil pakai hape. Dari dulu gak pernah puas sama hasil foto hape khususnya dari Android. Tapi semua berubah ketika pindah ke iPhone, saya jadi suka foto pakai hape. Meski gak bisa ngalahin hasil kamera tapi mayan buat jeprat jepret iseng. Sudah gitu kan asik ya bisa pakai hestek #shotoniphone.

Hal yang paling banyak saya foto selama di Istanbul adalah kucing. Banyak sekali. Hampir semua kucing yang saya elus pasti saya foto. Kalau niat ya sekalian ajak instastorian. Waktu itu pas lagi jalan sendiri, saya main sama seekor kucing besar yang manja minji. Saking asyiknya, saya sampai ngemper duduk dan pangku si kucing sampai dia ngulet-ngulet dan ketiduran. Wah heaven on earth rasanya. Sebahagia itu. Tapi perasaan ini gak sejalan sama pandangan orang Turki ke saya. Beberapa orang yang lewat ngelihatin sambil ketawa tipis. Kenapa ya? Mereka gak pernah gitu main kucing sampai sebegininya?

Suatu waktu saya dan Agung (teman yang nyusul ke Turki) habis main dari kawasan Topkapi dan mau cari makan. Pas lagi jalan, tahu-tahu kami disamperin orang lokal. “Assalamu alaikum, brother, sister, dari mana? Malaysia? Jakarta?” sapanya. Kalau kata Mas Gepeng, orang yang sudah salam terus panggil brother brother gitu tuh pasti ada akal bulusnya. Benar saja. Dia nempelin kami dan ajak ke tokonya. Kami bilang kami mau cari makan, sudah lapar banget. Terus gak menyerah dong dia. “Saya hanya ingin kasih kartu nama bisnis saja untuk kalian dan barangkali keluarga yang ke sini dan mau cari karpet,” ucapnya. Jiwa gak-enakan kami keluar, ya sudah kami manut. Toh cuman kasih kartu nama yekan.

Pas tiba di tokonya, ternyata dia gak langsung ‘cuman kasih kartu nama’ tapi mulai pamerin karpet-karpet yang dia punya sambil cerita asal mula dan proses pembuatannya. Dia kenali kami dengan kakak (atau adiknya ya lupa) dan dia itu yang ‘jagain’ kami supaya berlama-lama di toko. Entah gimana akhirnya kami terjebak dan tukar cerita kehidupan Indonesia vs Turki.

Si abang karpet kaget pas tahu saya punya enam ekor kucing yang tinggal di rumah. “Wah, kita di sini hanya kasih makan, kasih minum, dan biarkan mereka tinggal di luar dan gak mengganggu kita,” katanya, “Untuk apa pelihara kucing di rumah?” Saya dibilang aneh karena piara kucing bahkan sampai hidup bareng, terus dia menyarankan Agung untuk cari pacar lain—iya dia sangka kami sepasang kekasih yang lagi liburan bareng. “Ya kan kita harus saling mendukung,” jawab si Agung ketika si abang masih kekeuh nyuruh cari cewek lain.

Meski kesal, tapi ya mungkin memang seperti itu perlakukan masyarakat Turki ke kucing liar. Mereka sungguhan kasih makan dan susu ke para kucing. They even neutered most of the cats supaya populasi tetap terkendali. Saya pribadi gak masalah kalau gak ada yang piara kucing di rumah selama mereka bisa hidup tenang, nyaman, aman, dan kenyang di luar sana. Mari kita aminkan hal ini bisa terjadi di negara kita ya bestie!

Oh ada yang menarik lagi nih dari orang-orang Turki. Selama di Istanbul, entah itu pas di kota, di dekat stasiun, di Buyukada, di Balat, kami selalu menemukan orang yang telponan berlama-lama terus di-loudspeaker. Beneran begitu sepanjang telepon lho wow. Bahkan di pinggir jalan—seperti foto yang kamu lihat di atas, dia tetap harus loudspeaker meski suasana lagi berisik banget. Kok bisa sih? Apa gak pengang itu kuping? Apalagi yang di seberang telepon sana. Apa jangan-jangan hape di Turki itu build-in noise cancelation? Saya gak tahu sih smartphone masa kini ada fitur gitunya apa gak tapi pokoknya banyak orang yang kayak gitu di sini. Terus mereka bisa lama banget telponannya. Bisa sambil tawaf nyusurin pinggir laut bolak balik.

Selain itu, saya nemu banyak banget pasangan PDA (Public Display of Attention) alias pamer kemesraan. Kayak kimcil-kimcil baru jadian gitu tapi ini para orang dewasa. Salah satu yang menurut saya agak gengges itu pas lagi naik bus, saya depanan sama married couple dan sebelahan sama ibunya (entah ibu si cowok atau si cewek). Sepanjang jalan dan mereka ngobrol, si pasangan rangkulan terus, gandengan elus-elus tangan, terus ceweknya sesekali ndusel di leher si cowok. Hmmm. Entah saya gengges karena mereka ada di depan saya merasa mesra-mesraan di depan orang tua itu gak pantas, pokoknya risih lah. Risih beneran bukan iri wkwk.

Sekian dari Istanbul, mari kita pindah ke Göreme, kota berdebu yang cantik dan mulai naik pamor di Indonesia thanks to scene ikonik Layangan Putus. Cappadocia never been in my dream to be honest. Tapi pas ke sana dan ada rejeki lebih bisa sekalian naik balon udara, ternyata memang surreal sekali pengalamannya pemirsa. Bukan hanya urusan balon udara, segala alam, cuaca, bahkan terang mataharinya sungguh menyejukan hati. Göreme dan Cappadocia adalah salah satu tempat terbaik di bumi ini.

Orang-orang selalu menampilkan sisi estetik Göreme entah itu di lembahan Cappadocia, toko penuh karpet, atau di atap restoran dengan aneka karpet warna warni dan properti makanan yang sudah dingin. Dulu saya pikir Göreme hanyalah kota yang artistik, yang penuh sentuhan seni tradisional, dinamis, dan intimidatif. Ternyata ketika melihat dan merasakan sendiri, sessungguhnya Göreme cenderung pendiam. Introvert. Misterius. Oh saya juga merasa Göreme lebih sederhana dari apa yang banyak ditampilkan di jagad maya.

Saya pribadi sesungguhnya paling nyaman berada di Göreme. Berbeda dengan Istanbul yang hampir semua sudut kota ramai orang dan banyak hal, saya merasa Göreme sangat pas untuk orang dengan dua pola kepribadian alias Gemini tulen seperti saya. Saat satu sisi saya ingin tempat yang memenuhi jiwa dengan hal-hal asyik, saya bisa main ke kafe lokal nan artistik, bernyanyi dan menari bersama warga lokal, nongkrong hingga malam dan pulang dalam keadaan lelah. Ketika sisi lainnya ingin tempat yang tenang untuk merasakan hal-hal yang lebih intangible, saya tinggal melipir sedikit dan hiking ringan sendirian.

Mungkin satu-satunya hal yang membuat Göreme menjadi lebih dinamis dan berjiwa bebas adalah dengan banyaknya pendatang dari berbagai belahan dunia. Para pendatang ini ibarat sambal uleg di pecel lele atau daun bawang di mi ayam Donoloyo. Keberadaannya memeriahkan, memberi warna, dan melengkapi. Waktu saya ke sana, Göreme masih dihantui sisa-sisa dampak covid. Harga-harga masih menyesuaikan, toko-toko belum seluruhnya buka, dan hotel-hotel masih menyediakan banyak kamar. Saat di sana, perasaan saya terasa setengah damai setengah ramai. Göreme benar-benar Gemini.

Saya jadi penasaran, gimana Göreme pas masa-masa normal? Saat semua orang bisa ke sana tanpa dibatasi. Saat semua toko dan restoran buka dan penjaja menyambut semua yang datang. Saya rasa dia akan tetap jadi Gemini. Saya harap begitu. Sisi tenang dan sepi Göreme perlu dijaga dan dipertahankan, termasuk sisi-sisi penuh kejutan yang lembut. Ah ya ampun. Saya jatuh cinta dengan Göreme.

Selain soal nuansa dan bentukan alam, yang membedakan Göreme dengan Istanbul adalah di sini gak ada yang telepon pakai loudspeaker. Mungkin ada kali ya tapi saya gak ketemu. Kalau pasangan PDA sih masih ada hanya saja gak banyak. Jujurly saya lebih jeles pas lihat pasangan pada PDA di sini karena memang asyik ya bisa bermesraan di tempat sesyahdu ini. Saya berkali-kali membantin untuk ya ampun seandainya Mas Gepeng ada di sini pasti happy deh. Happy karena ada yang bawain tas HAHA. Gak ding. Saya ingin sekali Mas Gepeng ngerasain Göreme, ngerasain Cappadocia, ngerasain syahdu dan tenangnya kawasan ini. Kami berdua adalah sepasang slow traveler yang bisa banget merencanakan tidur siang di lembahan Red Valley sambil ngemil kacang.

Oh iya, di Göreme ini minim kucing lho pemirsa. Kalau pun ada, itu sudah kucing nongkrong yang mangkalnya hanya di toko keramik, restoran, hotel, gak ada yang liar jalan ngalor ngidul. Kucing di hotel saya menginap pun meski gembul, kasihan dia buluk banget. Gitu kali ya tinggal di kota berdebu, mau jilat kayak apa juga tetap bakalan kumel. Dan mereka gak seramah kucing-kucing di Istanbul entah kenapa. Dipanggil susah banget, dielus bentar juga abis itu kabur. Terus di Göreme, hotel atau restoran atau toko gak selalu menyediakan makanan dan minuman kucing. Mungkin karena kucingnya sedikit kali ya.

Salah satu cerita kucing di Göreme adalah si betina persia yang nongkrongnya di King’s Coffee, yang selalu minta pangku ketika saya dan Agung lagi sarapan di sana. Sebenarnya dia bukan kucing paling manja dan paling manis, dia adalah sebenar-benarnya kucing ada udang di balik batu, alias baik-baik tapi ada maunya.

Saya selalu menyantap menu yang sama di King’s yaitu menemenler dan sahlab. Si kucing ini ternyata sangat suka menemenler. Jadi ketika dia tahu ada yang pesan menu itu, dia sudah dekat-dekat dan manja-minji. Awalnya hanya mondar mandir, lalu lewatin kolong, elus-elus kaki meja, elus-elus kaki, eh tahu-tahu minta pangku. Pas makanan mulai datang, dia hanya minta ndusel, tetap tenang dan tetap lucu. Ketika saya mulai makan sesuap, dua suap, tiga suap, dia mulai endus-endus ke atas meja. Di suapan ke-sekian, tangannya sudah nyaplok sendok minta disuapin. Berikutnya tahu-tahu dia sudah menghabiskan setengah porsi menemenler 🙃

Di Göreme juga kami ketemu beberapa teman baru dan eksplor Cappadocia bareng. Kalian bisa baca ceritanya di sini. Selain pengalaman yang baik, kami juga punya pengalaman gak baik-baik amat. Jadi setelah hiking bareng, besoknya kami dan para teman baru rencana eksplor Derinkuyu, kota bawah tanah sedalam 54 meter. Saya dan Agung sebenarnya rencana mau ke Uchisar Castle dan sudah bilang ke mereka kalau kami ini agak claustrophobic. Pas besoknya sarapan bareng dan ketemu teman tambahan dua cewek asal Spanyol, kami entah kenapa jadi gak enakan dan malah ikut mereka ke Derinkuyu.

Kami bertujuh patungan charter mobil sekali jalan ke Derinkuyu. Setiba di sana, kami langsung beli tiket dan bareng-bareng masuk ke kota bawah tanah. Awalnya semua baik baik saja sampai akhirnya saya mulai merasa ketakutan. Belum ada 15 menit, saya sudah merasa sesak. Di dalam sini memang adem tapi lembab dan suram. Lampu terpasang di banyak titik tapi buat saya masih terasa menyeramkan.

“Lo baik-baik aja?” tanya Nihaal saat melihat saya terdiam menunduk di cerukan. Semua orang sedang menuruni tangga sempit dan curam untuk melihat ruangan di bawah sana tapi saya malah berhenti. Saat itu saya merasa akan terjebak di sini dan mati setelah berebut oksigen dengan orang-orang. Di bawah sini bukan hanya kami bertujuh, ada banyak turis yang datang dan gak sedikit dari mereka bertubuh besar-besar, membuat suasana terasa lebih sesak. “Tenang aja, kita semua bareng-bareng terus kok, yuk,” ajak Nihaal. Saya menurut.

Setelah turun dan berkeliling sebentar, sampailah di titik saya sudah gak bisa lagi meneruskan kegiatan ini. Saya menarik baju Agung dan menangis. “Gung udahan aja ya gue takut hueeee,” kata saya. Saya gak bisa lagi lebih dari ini. Takut banget beneran. “Ya udah ya udah yok lewat situ tu jalan keluarnya, jangan nangis gitu dong,” katanya. Kita pun akhirnya naik duluan meninggalkan teman-teman yang sudah jauh di bawah sana.

Pas sampai di atas, Agung ajak jalan santai menuju sebuah gereja tua. Agung pun mengakui bahwa pergi ke Derinkuyu bukan keputusan yang tepat. ”Gue sebenernya nyesel sih ikut ke sini, emang bener tuh harusnya kita ikutin kata si Firda kalau ragu-ragu ya mending gak usah,” katanya. Derinkuyu buat Agung cukup membosankan. Semua ruangan sama saja. Mau masuk lebih ke dalam, turun lebih ke bawah, semuanya sama. Saya ikut ke sini sesungguhnya karena pengin bareng teman-teman baru saja. Tapi besok besok mending ikutin kata hati lah.