Sehari di Buyukada bersama Cewek Cranky dan Cowok Lempeng

“Bro bro, lo ada usul gak kita harus ke mana hari ini?” tanya saya ke host hostel kami selepas saya menikmati seruputan terakhir Indomie rasa sayuran. Pagi itu saya dan Agung belum susun agenda mau ke mana dan mau ngapain padahal bangun pagi sekali (terima kasih perbedaan waktu 4 jam!), sarapan Indomie cup, saya sudah mandi, Agung belum mandi, semalam saya sudah Netflix-an, Agung katanya sudah nonton anime. “Kalian bisa ke Buyukada,” kata Ali, si host, “Itu pulau terpisah dan pulau paling besar dengan pemandangan pinggir laut.” Ali lalu lanjut menginformasikan rute yang harus kami tempuh, naik di mana turun di mana, termasuk gimana caranya dapat Istanbulkart. “Cuaca lagi bagus banget, kalian pasti suka di sana,” katanya penuh percaya diri.

Untuk menuju Buyukada, kami naik tram dulu menuju Eminönü, lalu beli tiket ferry di loket (dekat harbor), abis itu naik kapal sesuai jadwal terdekat deh. Kapal ini akan menyeberangi The Famous Bosphorus Strait, mampir ke beberapa pemberhentian alias pulau-pulau lain, sampai akhirnya ke Buyukada. Perjalanan ferry nyaman sekali. Beruntung hari itu fisik kami cukup prima jadi mau naik ke atas, duduk di dalam, melipir ke pinggir, aman-aman saja gak kena mabuk laut. Kapalnya juga gak kebut (atau mungkin kebut tapi gak berasa ya), nyaman dan cocok buat bikin video klip.

Setelah keliling kapal dan foto-foto di geladak belakang, kami akhirnya memilih stay di dalam saja demi gak masuk angin. Susah juga kalau masuk angin tapi pas gak ada Mas Gepeng, lha yang kerokin nanti siapa dong 🫠 Kami duduk di pinggir jendela besar, ngeteh, dan menikmati pemandangan luar. Di kapal ada kantin penjual makanan dan minuman, jadi jangan khawatir kalau belum sarapan atau mau minum yang hangat-hangat, mereka menyediakan Indomie cup, Turkish Delight, baklava, snack-snack ringan, kopi juga ada. Harganya aman kok gak culas, masih sama dengan harga di daratan. Cuman bayarnya harus cash, gak ada mesin EDC di kapal. Wah peluang akuisisi nih #AnakMarketingBankModeOn

Oh pas naik kapal ini saya tersadar, sayang banget ya orang-orang yang ke Turki dan naik kapal mengitari Selat Bosphorus itu gak mampir mana-mana padahal ternyata banyak tempat yang bisa dihampiri ketimbang hanya ngambang bulak balik di tengah laut. Apalagi kalau tujuannya hanya lihat Bosphorus Bridge, duh sayang beneran deh. Besok besok kalau kalian ke Turki, pada mampir pulau yah. Biar beda ceritanya sama orang-orang. Kali saja kalian juga beruntung bisa ketemu Boji si anjing pintar.

Merhaba günaydın, Buyukada!

Setelah menempuh 1,5 jam jalur laut, akhirnya tiba juga di Buyukada. Aaaah fresh salty air! Hummmm! Paru-paru saya langsung semriwing! Tahu-tahu hidung berasa mancung! Haha. Meski berada di pinggir laut, udara di sini sejuk, berangin, dan gak lengket lho. Asyik deh. Mungkin karena sudah peralihan ke musim dingin kali ya. Ini kali pertama saya di laut saat udara dan cuaca serba sejuk. Biasanya kan pantai dan laut identik dengan terik matahari, namun pagi ini (semoga sampai nanti sore) adeemmm.

Berhubung saya dan Agung masih buta arah, kami menghampiri yang dekat dulu yaitu lapangan utama sebelah kanan dari harbor karena di sana tampak lapang dan banyak orang yang jalan ke sana juga. Lapangan ini berada persis di pinggir laut. Banyak area duduk dengan pepohonan teduh, ada juga kafe-kafe yang belum buka. Kami jalan santai hingga ke ujung lapangan dan bertemu patung Mustafa Kemal Atatürk atau dikenal juga Kemal Pasha. Saya gak begitu tahu sejarah di Turki termasuk siapa gerangan bapak ini, tapi teman saya bilang jenazah dia gak diterima di bumi. Wow. Kok gak ada sinetronnya di Indosiar?

Selepas dari patung Pak Kemal Pasha (siapanya Pasha Ungu ya?), kami meniti tangga menuju gang mungil di antara bangunan megah berwarna putih. Di sana gak ada apa-apa selain tanaman jalar dan seekor kucing hitam lagi keluyuran. Tenang, itu kucing betulan bukan kucing gaib tapi jutek dia gak mau dipanggil. Setelah lihat di sini sepi dan krik-krik, kami memutuskan kembali turun dan mendatangi bagian yang lebih touristy yaitu sepanjang jalan antara Mom Hotel dan Clock Square. Banyak penjaja makanan dan pernak-pernik di sini. Mereka menggantung bunting flags warna warni, dan tampak penjaja mulai bersiap membuka toko menyambut para pendatang. The salty air now infused with smells of ice cream, sweet fried cake, cotton candy, and happiness. “Kayaknya mau ada festival ya. Atau tiap weekend di Buyukada adalah festival?” saya berkata sembarang.

Ada sesosok Bapak yang memanggil saya mampir ke kedainya. Saya melambaikan tangan pelan, lalu dia mempersilahkan saya ambil semacam donat goreng yang ngebul-ngebul di atas etalase jualannya. Nama jajanan ini lokma gais atau orang Yunani menyebutnya loukoumades. Memang sekilas mirip donat goreng tapi dia sedikit lebih kopong dan kulitnya lebih garing. Mirip jajanan bola ubi yang pernah saya coba di belakang kampus ITB, atau ya the famous Lukumades yang ada di Kokas. “Ah, terima kasih, Pak!” saya lalu melahap lokma hangat itu dalam sekali suap. Enak. Manis. Sirup gula yang membuat lokma berkilauan ternyata gak sepeliket itu tapi tetap manis legit. Saya lihat ada beberapa topping disediakan si Bapak kayak gula bubuk, coklat, kacang pistachio, kamu tinggal pilih sesuai selera. Kalau mau murah ya yang pakai sirup gula saja.

Welcome to Komplek Sultan

Ketika kami tiba di clock tower dan berjalan lebih ke atas lagi, kami mulai melihat rumah penduduk di kanan kiri. Buyukada sejatinya adalah pulau berpenghuni yang beruntungnya berada di pulau yang lebih kecil dari mainland, dekat laut, dan jauh dari hingar bingar pusat kota. Saya ingat apa yang dibilang Ali—host hostel kami tadi pagi, bahwa Buyukada adalah short getaway dari Istanbul. “Di sana tempat yang pas untuk santai menikmati pemandangan, di sana gak berisik dan suasananya tenang,” katanya. Gak heran kalau di sini tuh nuansanya liburan banget. Kayak orang Jakarta piknik ke puncak gitu lho, atau kayak orang Malang piknik ke Batu terus nginep di vila-vila di Songgoriti (eeehh salaaahh salaaahhh!)

Rumah di Buyukada banyak macamnya. Ada yang berjajar padat dengan warna warni di beberapa bangunan, di depannya anak yang mengejar kucing dan kibasan jemuran setengah kering. Ada juga yang masih mempertahankan desain klasik dengan ornamen kayu dan warna-warna bumi. Semua tampak cantik sekali. Tambah lagi ornamen pepohonan di sekitar mulai berbaur dengan warna merah, oranye, coklat, dan kuning mengikuti peralihan musim. Yang menarik, ada beberapa rumah yang sudah lama gak berpenghuni dan tampak gak terurus tapi masih cakep, atau sebenarnya dihuni tapi oleh makhluk kasat mata, berbulu lebat, gembil-gembil, mata bulat kilat-kilat, dan hobinya tidur siang. Apakah pajak di Buyukada mahal sampai orang-orang cabut pindah? Duh saatnya cari tulisan ‘for sale’ gak sih ini.

Di awal bagian, suasana rumah lebih familiar dan mudah dipahami. Meski tipe bangunannya beda sama rumah kami di Sawangan, tapi nuansanya masih mirip lah. Kita masih bisa lihat jemuran, atau lihat sepeda rusak diparkir di pojokan rumah. Suara yang terdengar masih campuran antara ibu manggil anaknya supaya gak main terlalu jauh, atau obrolan ringan antara tuan rumah dengan tukang antar galon. Namun ke dalam lagi, kalau istilah game, ini level up tring tring tring. Rumahnya besar-besar pemirsa wiihh! Lahannya juga lapang betul sampai ada yang punya kolam ikan di sebelah kiri dan paviliun beratap kubah di kanannya. Bahkan potongan semak di tamannya lebih rapih ketimbang rambut saya disisir wakakakak.

Menariknya, meski besar dan megah, kawasannya tuh gak terkesan sombong gitu. Seingat saya hanya satu yang sombong, itu juga rumahnya kayak museum, kayak tempat menghelat Met Gala level kabupaten lah. Tapi rumah yang lain begitu humble. Mewah tapi humble. Mungkin karena kebanyakan temboknya berwarna pastel kali ya dan gak ada tiang-tiang tinggi ketempelan patung malaikat. Oh mungkin juga karena rimbun pepohonan berwarna hangat dan daun-daun berserakan bikin suasanya tetap sederhana dan apa adanya.

It was a dreamy place to live, I believe. Siapa ya orang-orang ini? Pada kerja apa ya mereka? Apakah ada presiden yang punya rumah piknik di Buyukada? Apakah Duta Besar Indonesia juga punya properti di sini dan tiap Idul Fitri dia open house bagi-bagi kentang Mustofa? Setiap jalan melewati komplek sultan, saya selalu bertanya-tanya kayak gitu. Gak hanya di Buyukada, di komplek Sultan dekat rumah juga gitu, pas jalan ke PIM juga gitu. Mungkin ini ciri khas kaum (((proletar))) yang selalu penasaran berapa banyak sih uang yang dimiliki para orang kaya sampai punya rumah sebesar dan semegah itu, dan berapa banyak uang yang dikeluarkan tiap bulan untuk perawatan, kebersihan, uang keamanan, bayar mbak, iuran senam, dan bayar listrik.

But as you may know, this kind of area which happens to be a place where rich and busy people stay, was tranquil and calm. I rarely saw people on the terrace or garden, mainly the house seems uninhabitable even though they were well-groomed. Orang kaya kalau lagi di rumah, pada ngapain gais? Ada orang kaya yang lagi baca ini kan? Ada doong masa gak ada? Main PS saja di dalam gitu? Baca koran sambil minum teh dari gelas berhias emas? Potong rumput dan rapih-rapihin bonsai mungkin? Ah lagian kalau keluar atau siram-siram tanaman di depan, gak enak juga jadi tontonan turis yang lagi pada ngalor ngidul numpang fefotoan di properti orang. Mending di dalam memang, baca buku di beranda belakang sambil menikmati indahnya notifikasi passive income.

Komplek Sultan Bikin Bosan

Setelah beberapa jam berjalan, saya mulai bosan. “Kita mau ke mana sih ini, Gung?” saya merengek. “Kayaknya di ujung sana ada pantai deh,” jawab Agung. “Masih jauh kah? Bagus banget emangnya itu pantai?” tanya saya masih dengan nada merengek. Saya mulai merasa aktivitas ini gak ada tujuannya. Okay ini sudah melihat komplek cakep, mungkin bisa jadi inspirasi rumah #justinindyo pas pensiun kelak. Tapi terus mau apa? Masa jalan terus? Mana gak ada aktivitas yang bisa dilakukan selain jalan dan lihat-lihat pula. Maksud saya kalau ada yang demo masak, demo silat, atau open house gitu kan asyik. Ini beneran hanya jalan saja. Ya bisa foto-foto, tapi ngapain ah bosan!

Agung was being unclear. He’s not sure if the sea is there and also which is better: turn back or keep walking. But I’m pretty much aware we were both tired and we need to pee and bought water. Air minum saya sudah tinggal sedikit, punya Agung juga. Dan kami benar-benar kebelet pipis. Dari awal jalan sampai saat ini, kami belum lihat ada WC umum. Ya namanya komplek perumahan ya, masa iya tahu-tahu ada WC portable gitu. Tapi gimana dong ini? Masa pipis di semak-semak hahaha.

Akhirnya ada tulisan yang bikin saya terharu banget. ‘TOILET’ di sebuah kafe mungil di kanan jalan. “Yah, bayar dong!” kata saya. Agak gengges ya sudah kebelet pipis tapi sekalinya nemu toilet, dia di dalam kafe yang bakalan awkward banget kalau numpang pipis tapi gak jajan. Kami pilih tahan sebentar lagi. Dan mukjizat bagi orang-orang yang sabar itu benar adanya, pemirsa. Kami nemu masjid! Allahuakbar! Ada masjid mungil di kiri jalan, beberapa meter setelah kafe. Di mana ada masjid, di situ ada tempat wudhu dan sudah pasti ada toilet! Mungkin bayar, tapi gak papa kan hitungannya amal jariyah.

“Salam, bro, boleh tahu toilet di mana?” tanya kami ke petugas masjid yang lagi ngepel bagian depan. Kami berdua pipis di toilet masing-masing, saya sekalian saya cuci muka dan rapihin jilbab. Kebetulan lagi gak solat, jadi cuman numpang cuci muka saja. Airnya dingin banget mashaaAllah seger betuuul seperti wudhu dengan air zamzam yang habis dimasukan kulkas semalaman! Terus kabar baiknya lagi, di masjid ada isi ulang air minum huhu ya Allah Maha Baik. Untung tadi tahan-tahan gak minum air kran. Btw masjid/mushala yang ini gak ngikutin aneka masjid/mushala di Istanbul alias bentukannya biasa saja. Kayak mushala di pinggiran kota gitu yang hanya kotak, area shalat hanya satu, gak ada ukir-ukiran atau langit-langit berlukis ayat Allah. Eh tapi bedug masih ada kok tenang, bocah-bocah masih bisa latihan adzan buat ujian praktik agama.

Setelah segar-segar cuci muka, kami jalan lagi sebentar. Yah namanya sudah bete, saya masih gak minat melanjutkan perbolangan ini. “Balik aja kali ya Gung, capeeeek….” saya menyerah. Bodo amat lah soal pantai di ujung sana, di bawah tadi juga ada pantai kok itu saja cukup. Saya anaknya gak ambi. Kabar baiknya, Agung yang sebenarnya agak ambi kalau urusan traveling pun mengiyakan. Dia juga gak banyak ngobrol dari tadi, bete dan capek juga kali cuman gak ngaku saja gengsi haha. Atau ya mungkin memang gak bete dan capek. Lagian Agung anaknya emotionally lempeng kayak piring makan warung padang.

Oke. Misi kami sekarang adalah cari cara balik ke clock tower tapi gak pakai jalan. Kalau bisa terbang. NAH sebenarnya sejak tadi kami berpapasan dengan buggy car beberapa kali, hanya saja gak sempat nanya itu naiknya dari mana dan tujuannya ke mana. Sekarang target kami adalah nyari titik pemberhentian terdekat mereka dan langsung interogasi. Kalau bisa langsung duduk deh samping Pak Supir.

Ada palang mungil di dekat kursi pinggir jalan, sepertinya ini tempat pemberhentian buggy car dan benar dong, tahu-tahu ada satu yang datang dan berhenti nurunin penumpang. Agung pun menghampiri. Saya nungguin dia sambil duduk dan main kucing, siap-siap menerima kabar baik. “Ternyata buat naik buggy car harus punya tiket yang beli di bawah tadi itu, Tin.” katanya sambil ketawa kecut. He? Saya bertanya-tanya, di mana memang beli tiketnya? Kayaknya tadi gak lihat ada tempat tiket. Tepu-tepu nih. “Gak bisa beli di abang buggy?” tanya saya memelas. Agung menggeleng. Sedih. Sungguh tragedi harus jalan kaki untuk balik ke bawah sana. Saatnya kita nyanyi ‘jujuuuurrr, aku tak sangguuuppp…. aku tak bisaaa….”

“Ya udah jalan aja yuk, udah laper juga kan?” kata Agung. Saya mengangguk. Rasanya ingin marah, rasanya saya ingin mengamoek ke Agung because all of this nonsense walk. Tapi masa ngamuk ke Agung, gak salah apa apa juga dia. Kalau pergi sama Mas Gepeng kan bisa ngambek lucu gitu. Dia juga punya cheat sheet untuk menjaga saya supaya tetap happy, bahkan sebelum ngambek tuh antena Mas Gepeng tuit tuit dapat sinyal dan dia keluarin deh jurus-jurus tersembunyi. Tapi itu kan Mas Gepeng ya. Ini Agung, a friend who has no responsibility for my well-being meski sebelum pergi saya sudah bilang 200x, “Agung lo harus baik sama gue ya selama di Turki, kan lo bertanggung jawab sama Mas Gepeng atas kebahagiaan gue,” dan dia cuman bilang, “Lhaaaaa…” Terus kata Mas Gepeng, “Kalo Justin ngambek langsung lo tinggal di pinggir jalan aja Gung!” AWOKAWOKAWOK.

Well, then I slowly walked back to the ground and tried to smell the sweet scent of autumn leaves again. The smells leave me calm somehow. Aroma khas gitu campuran wangi tanah terkena hujan dan es serut dikasih sirup rasa persik dan madu. Kebanyang gak? Kira-kira gitu deh. I walk a little bit slower just to relax from everything I felt minutes ago. Now we have a purpose. We walk with the purpose to have lunch downtown and that’s a perfect game changer. Salah satu yang menyenangkan juga adalah akhirnya jalanan menurun huhu happy. Dari tadi, meski gak curam, ternyata jalannya nanjak bestie.