Mengeksplorasi Angkor Wat dari subuh hingga ashar membuat kami menghabiskan petang dengan tidur. Selain lelah, rasa lega karena hostel melayani pemesanan tiket bus dari Siem Reap-Kamboja menuju Bangkok-Thailand yang harganya jauh lebih murah ketimbang travel agent membuat tidur kami dua kali lebih nyenyak.
Sebenarnya ada banyak faktor yang membuat tidur kami begitu pulas. Selain lega karena dapat tiket bus murah, kami juga kelojotan karena kepanasan di Angkor Wat, kelaparan karena hanya makan pisang sedari pagi, dan kesenangan karena akhirnya dapat AC dan kasur bersih. Badan rasanya ‘ketindihan’, ingin rebahan saja seharian. Lalu ada suara memecah sunyi.
“Hey, are you from Indonesia?” sahut seseorang di pinggir ranjang beberapa saat setelah saya rebahan. Langsung mengiyakan dan balik nanya, dia lalu bilang “I just came from Bekasi” “Wow really? Bekasi? You traveled to Bekasi?” “Oh I mean I’m India and I have family there.” Oh. Still wow. Noticed as an Indonesian is a rare thing if we visit Asean countries. Orang-orang lebih sering menduga kami dari Malaysia. Mungkin karena saya pakai jilbab, atau karena Mas Gepeng tampak seperti datuk penjual keong. Pun ketika kami jawab, “No, Indonesia” mereka hanya merespon “Aaah” yang hampa seolah didalam hatinya berarti “Apa bedanya?”
A rainbow after the dust
I’m not joking when I say we ONLY ate bananas while exploring Angkor Wat. We’ve got too much prejudice about food at tourist attraction (although we finally knew they’re not that ‘culas’ ketika membeli kelapa muda yang harganya sama di seluruh Angkor, bahkan mungkin di seluruh Siem Reap). Rasa lapar yang hebat itu mengarahkan kami ke tempat dengan pilihan makanannya banyak dan harganya murah #cerdikiawan. Apalagi kalau bukan pasar, dan malam itu kami ke Angkor Night Market.
Jalan menuju pasar gak begitu ramai. Jarak dari Chilled Backpacker Hostel ke pasar hanya 23 menit jalan kaki atau sekitar 1,4 km saja jadi masih nyaman ditempuh dengan jalan kaki apalagi saat malam, angin lebih sejuk. Sepanjang jalan kami menikmati suasana remang-remang. Menyusuri trotoar demi trotoar, melihat pemilik warung mengobrol dengan abang tuktuk, lalu ada juga penjual gas yang ketiduran, dan pedagang gerobak yang hendak pulang.
Kami masuk ke sebuah gang dengan beberapa restoran kecil yang tampak nyaman. Beberapa outdoor seat disusun meminggir dan mereka para tamu asyik menikmati minum dan mengobrol. Sisi di sebelah sini lumayan sunyi. Saking sunyinya, saya bisa mendengar gelas mereka bersahutan, kursi digeser, juga gesekan sandal. Gang sunyi nan syahdu ini ternyata menjadi jalur menuju suasanya yang lebih meriah di ujung jalan.
Dari gelas kaca yang bersahutan, bunyi berganti jadi gesekan sutil alumunium, blender, piring makan bertumpuk, tumisan dikasih air, musik antar kafe, dan suara orang tertawa bersenang-senang. Di sini, kamu akan bertemu banyak kw-nya Aurel Hermansyah, lalu ada juga yang mirip Brandon Boyd vokalis Incubus, aneka lelaki sebesar Dwayne Johnson, juga suami istri di film Up alias yang sudah berumur sekali.
Angkor Night Market is like a rainbow after the dust. So many people, yet so colorful.
Food-hunting
We got our mission on track. Kami memindai aneka makanan dijajakan mulai dari yang gerobakan sampai restoran di ujung-ujung. Seperti Robocop. Mas Gepeng pun mengajak jalan melintasi antar gang, dari sisi utara ke timur, lanjut ke sisi selatan lalu ke barat, dan berakhir di tengah. Yang seru adalah antar gang punya ambience berbeda. Ada satu yang penuh lampu neon dan musik disko. Sisi yang lain lebih suka musik pelan yang seru dan suasana temaram. Kesamaannya adalah sama-sama ramai.
Saat sedang berjalan, tahu-tahu ada gerobak kuning melintas menyajikan aneka hewan eksotis sudah tebujur garing dan disate. “Aaah ini dia!” teriak saya girang. Saya pernah makan belalang goreng cocol sambel bawang. Tapi untuk kalajengking, ular, ulat uget-uget, tarantula, jangkrik, belum pernah nich.
Di samping akan membuat orang lain jijik, percaya deh, ada juga orang yang membuatmu tampak keren ketika kamu bisa makan serangga, dan kamu akan merasa keren karena melakukan hal keren dan orang lain mengakui kamu keren karena mereka gak melakukan hal keren itu. And I love that feeling, haha. Saya makan tarantula, ular, dan ulat uget-uget and thats cool!
Makan serangga tentu gak bikin kenyang. Kami butuh makan berat! Ada banyak pilihan di Night Market. Mulai dari makanan lokal asli, lokal campuran, makanan barat, cina, seafood, sampai aneka bar juga ada. Mereka semua menampilkan pilihan menu masing-masing lengkap dengan harga, jadi gak perlu khawatir bisa intip dulu.
Mas Gepeng ingin makan di all-you-can-eat restoran yang menyajikan seafood baik suki atau bakar. Tempatnya ramai orang lokal dan interlokal juga, jadi bisa dipastikan rasanya universal alias enak untuk semua selera. Jenis restoran yang paling menarik bagi orang kelaparan, yang seharian gak kena karbo atau protein sama sekali.
EH, tempatnya penuh dong! HAHA. Semua meja terisi dan semua juga masih sibuk mengunyah. Saat melempar mimik bertanya di mana saya bisa makan, para pelayan hanya tertawa pelan dan mengangat bahunya, tanda gak ada yang bisa dia lakukan untuk saya. Paling sedih lagi, saya sempat tertahan beberapa detik di sebelah pria yang sibuk makan dari mangkuk kecil sementara didepannya ada panci penuh daging dan sayur dengan kuah kaldu mendidih. Pemandangan durjana.
Pindahlah kami ke tempat makan yang sebelumnya telah sedikit mencuri perhatian saya, yang lebih sunyi, dengan lampu kuning hangat, meja kayu bertaplak kotak-kotak dengan kursi rotan, Namanya Khmer’s Kitchen. Restoran ini gak penuh sesak, tapi orang-orang yang makan tampak santai dan gak terburu-buru. Saya berkesimpulan bahwa tempat ini, secara ambience, dia nyaman.
Ada berbagai menu khas yang disajikan. Karena saya penasaran dengan ikan dan pasta ikan yang menjadi primadona masakan Kamboja, maka saya pesan sup ikan. Mas Gepeng pesan yang lebih ‘aman’ yaitu nasi dengan ayam kungpao—not literally kungpao, tapi semacam tumisan ayam manis, kali ini memakai taburan kacang methe.
Sekilas tentang Orang-orang Kamboja
Memiliki waktu yang sebentar untuk sekedar mengenal sebuah kota adalah satu-satunya kelemahan yang ada di perjalanan ini. Memiliki satu malam di Siem Reap ternyata juga bukan ide yang bagus, tapi setidaknya saya punya penutup yang manis. Dan di malam itu saya merangkum beberapa hal tentang orang Kamboja, misalnya~
- Di Kamboja, gak semua orang ramah dengan turis.
- Biasanya yang gak ramah itu yang di restoran.
- Orang Kamboja menjadikan pesta sebagai daya pikat hostel para backpackers.
- Dan selalu ada pesta di hostel murah itu.
- Mereka mengartikan teh hangat dengan teh yang hangat-hampir-dingin.
- Harus bilang teh panas, repetisi dua kali.
- Mereka makan begitu banyak nasi!
- Mereka pakai piyama saat ke pasar sore-sore juga make up tipis.
- Orang Kamboja mata duitan (kata Mas Gepeng) wkwk.
- Gak ada sosialita (because I didn’t find any).
- Mereka gak fesyenebel.
- Dan menyukai camilan berat.
- Masih banyak yang pakai hp monofonik.
- Masih penasaran kenapa mereka gak menyediakan banyak tempat sampah umum.
- Lalu menaruh sampah seolah itu pajangan, di pohon, pagar, atau tiang.
- Orang Kamboja suka masakan olahan mie.
- Mereka juga suka makanan spicy (dalam artian pedas dan berbumbu) dan memakannya saat panas.
- Mereka banyak menjajakan ikan asap dan ikan kering di pasar, tapi saya gak menemukan jenis hidangannya di restoran.
- Mereka memiliki hubungan simbiosis mutualisme antar bisnis. Misalnya travel agent rekanan sama kang tuktuk, atau restoran dengan penyewa motor, atau hostel dengan bus antar kota.
Kamboja, meski bisa saja membuatmu kesal dengan panas dan debunya yang durjana, tapi santai-santai menikmatinya ternyata bisa menyenangkan juga. Jangan khawatir soal panas, meski gak punya vending machine, Kamboja punya banyak varian minuman dingin lucu-lucu mulai dari aneka rasa Fanta, jelly buah, air kelapa, jus jeruk limun, cincau, cincau susu, cincau lidah buaya, semua itu akan membuat semangatmu kembali.
7 Comments. Leave new
Nambahin dr sudut pandangku. Kalo mau ke kamboja mending turun siem reap dan eksplor Battambang sama Sihanoukville…
Gepeng
-nama yang paling sering disebut di blog ini-
-bukan datuk penjual keong- 🤣🤣🤣🤣🤣
ah kayaknya seru dan aku membayangkan betapa ngerinya makan ular dan tarantula. hihi, begidik
wkt ke kamboja, aku ke siam rep dulu, baru pnom penh.. krn sbnrnya tujuan utama killing fied dan tuol sleng ;p. tp slama di sana, makanannya agak ga cocok sih ama aku.. makanan enk, baru kita temuin di malam terakhir, itupun warung kaki lima pinggir jalan, yg menjual ikan bakar.. uwaaahh aku msh inget enaknyaaa dan pedeees sambelnya.. dan itu 1-1 nya makanan yg aku bayar pake mata uang mereka. hari2 sebelumnya semua pake itungan dolar amerika hahahaha..
Apa ini ada datuk penjual keong! Iyaaa akhir tahun balik sini lagi kita mantai yaa di Sihanoukville~~~
Hai Mba Tikha, waw tampilan blognya baru ya, keren banget theme-nya! Anw, iya, aku awalnya juga begidik. Tapi lebih gede rasa penasarannya dan pas coba, ya ampun nagih! Rasanya mau coba semua yang ada di gerobaknya hahahaha. Kalau gak punya alergi, coba deh sekali sekali 🙂
Lho, aku kira Mba Fanny cocok sama semua makanan di dunia wkwk. Gak cocok sama sereh dan daun ketumbar kayaknya yah? Karena makanan Kamboja sangat kuat di dua daun itu. Aku malah gak makan ikan bakar, padahal pasti unik ikan sungai dibakar yah.
yapp.. thank you.. noted! siem rap di hari2 terakhir..
itu klo mau makan ular yang tebel2 coba aja di pasar tomohon, sulut, ahaha..
-Traveler Paruh Waktu